HADIYUWAN
HADIYUWAN
SUTEJA
Pesantren
secara kuat mengajarkan dan mendidik para santrinya untuk mempraktekkan
amalan-amalan ibadah: shalat, puasa, membaca al-Quran, dzikir, dan berbagai
wirid khusus. Doktrin yang dikembangkan di pesantren adalah bahwa “ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Dzikir dan wirid dalam kerangka taqarrub kepada Allah,
menempati posisi utama dalam proses pendidikan di pesantren.
Dzikrullah adalah rukun bagi setiap thoriqot (Indonesia: tarekat) shufi.
Setiap pesantren menganut salah satu dan bahkan beberapa
thorioqt. Para santri pun diwjibkan mengamalkan secara konsisten dan
kontinyu wirid thoriqot
yang dianut sang kyai. Kyai-kyai
Buntet Pesantren dikenal konsisten dengan
wirid thoriqot Syathoriyah dan kemudian juga Tijaniyah. Kyai-kyai Pesantren Bendakerep tetap setia
dengan wirid thoriqot Syathoriyah.
Pesantren
Babakan Ciwaringin Cirebon (didirikan pada tahun 1817 M.=1233 H. oleh Ki
Jatira salah seorang murid Maulana Yusuf
dan sekaligus utusan Kesultanan
“Hasanuddin” Banten), [1] sampai dengan sekarang tetap melestarikan
wiridan khusus untuk keluarga kyai dan para santrinya tetapi berbeda dengan
kedua pesantren tersebut. Beberapa kyai
yang dengan tekun, konsisten dan kontinyu
memasyarakatkan ritual hadiyuwan antara lain: (alm) KH. Amin Halim dan (alm.)
KH. Makhtum Hannan. Kedua kiyai inilah yang memberikan inspirasi tradisi hadiyuwan menjadi institusi dan semakin berkembang secara luas di
berbagai daerah tempat para santri dan alumni berdmoisili dan mengabdi. Penamaan ritual hadiyuwan diambil dari salah satu asma Allah yang dibaca yakni :
يا هاديُ يا عليمُ يا خبيرُ يا مبينُ
Thoriqot
memandang ritual hadiyuwan sebagai media
yang sangat effektif bagi ikatan guru-murid. Ritual Hadiyuwan merupakan
pembelajaran ketarekatan murid
thoriqot yang dikenal dengan istilah tawajjuh; yang mensyaratkan keterpautan hati sang murid (yang siap
menerima keberkahan mursyid) dengan hati sang mursyid
yang disebut dengan istilah robithoh al-Qulub. Ritual hadiyuwan adalah proses robithoh al-Qulub santri/alumni pesantren dengan kyai-kyai Pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon. Santri dan alumni selalu siap menghadap secara rohaniah dan menerima
berkah para kyai melalui ritual hadiyuwan.
[1] Ketika terjadi
Perang Diponegoro di Jawa tengah (1825-1830),
yang dipimpin oleh Syaykh
Abdurrahim putra Amangkurat III dari hasil pernikahan dengan seorang putri Kyai
dari Desa Tingkir, Ki Jatira (kyai yang
sebenarnya putra Banten dan utusan kesultanan Mawlana Hasasnuddin Banten) dan
para santri pesantren itu tengah berjuang keras melawan Belanda yang bermarkas
di Gunung Jaran Desa Gempol Kecamatan Ciwaringin. (Abu Bakar & Shohib
Salam, “ Pesantren Babakan Memangku Tradisi dalam Abad Modern “, dalam, Agus
Sufihat, dkk., Aksi-Refleksi Khidmah NahdhatulUlama 65 Tahun (Bandung : PW NU Jawa Barat, 1991), h.
44.)