PENDIDIKAN SUFISTIK DI ERA MULTIKULTUR
PENDIDIKAN SUFISTIK DI ERA MULTIKULTUR
SUTEJA
Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada
hakikatnya merupakan proses sosialisasi dan enkulturasi
yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan-pengetahuan
yang terakumulasi di masyarakat. Dengan berkembangnya
masyarakat, berkembang pula proses sosialisasi dan enkulturasinya dalam bentuknya yang diserap
secara optimal. Dewasa ini pendidikan
terlihat lebih mengupayakan peningkatan potensi intelegensia manusia. IQ telah menjadi sebuah
"patok absolut" dalam melihat tingkat
progresivitas kedirian manusia. Manusia dituntut mengasah ketajaman intelektualnya demi kemampuan mengoperasikan mekanisme
alam yang menurut Jurgen Habermas,
menghunjamnya hegemoni rasio instrumentalis. Produk dari instrumentalisasi intelek ini adalah terbangunnya
manusia-manusia mekanis yang kering dari
nuansa kebasahan ruang diri, atau dalam istilah Herbert Marcuse, one dimensional men.
Multikulturalisme
berkembang sebagai sekolah yang menaruh pentingnya keragaman sumber-sumber serta kantung-kantung budaya
yang menjadi oasis penghayatan hidup dan
acuan makna penganutnya, justru dalam penghayatan jagat-jagat nilai kelompoknya. Tuntutan
multikulturalisme ini mekar bersama memadatnya
kesadaran terhadap keterbatasan tradisi-tradisi besar yang setelah krisis monopoli tafsir kebenaran tunggal
ternyata ambruk dalam rasionalisme
demokrasi, serta krisis-krisis dehumanisme dan kukuhnya teknologis-instrumental yang membuat hidup menjadi
sempit satu dimensi.
Maka
pendidikan pun perlu diarahkan untuk melakukan perombakan substansial menuju penyadaran hakiki dengan bertumpu pemaknaan hidup
secara lebih human. Perubahan
ini sepatutnya dibidikkan pada wilayah esoteris
yang merupakan kesadaran hakiki yang berwatak multi
dimensional.
Kesadaran
esoteris senantiasa meneguhkan nilai-nilai keillahiahan yang menjadi sumber segala bentuk kesadaran. Padahal,
kesadaran akan hadirnya kekuatan illahiah
bisa menghadirkan kesadaran praksis yang amat signifikan bagi pengembangan kepribadian baik privat maupun sosial.
Di atas kondisi multikulturalisme, sebenarnya tersimpuh pemikiran yang
berlandasan pendaman-pendaman wisdom yang
menggelontorkan pemikiran yang substansial,
universal, dan integral melalui jalur yang emansipatoris, moralis, dan spiritual. Sebuah pengayaan proses
pendidikan yang berlambar nilai-nilai
adiluhung tasawuf dengan tujuan praksis sosial.
Tasawuf sebenarnya bukan penyikapan
pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial.
Tasawuf berperan besar dalam mewujudkan
sebuah "revolusi spiritual" di masyarakat. Bukankah aspek moral-spiritual ini sebagai ethical basic bagi formulasi
sosial dalam hal ini juga dunia pendidikan?
Kaum sufi adalah elite di masyarakatnya dan sering memimpin gerakan penyadaran akan adanya
penindasan dan penyimpangan sosial. Tasawuf
merupakan metodologi yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total. Interaksi kaum sufi dalam semua
kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan
dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal.
Bertasawuf
berarti pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) yang sebenarnya adalah belajar untuk tetap mengikuti
tuntutan agama, saat berhadapan dengan
musibah, keberuntungan, perlawanan orang lain, tantangan hidup, kekayaan, kemiskinan, pengendalian diri, dan
pengembangan potensi diri. Bukankah
lahirnya sufi-sufi besar seperti Rabi'ah Adawiah, Al-Ghazali, Sari al-Saqothi atau Asad al-Muhasabi telah
memberi teladan, pendidikan yang baik,
yakni berproses menuju perbaikan dan pengembangan diri dan pribadi.
Disadari,
pendidikan yang dikembangkan masih terlalu menekankan arti penting akademik, kecerdasan otak, dan jarang sekali
pendidikan tentang kecerdasan emosi dan
spiritual yang mengajarkan integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, keadilan,
kebijaksanaan, prinsip kepercayaan,
penguasaan diri atau sinergi. Akibatnya, berkecambahnya
krisis dan degradasi dalam ranah moral, sumber daya manusia dan penyempitan cakrawala berpikir yang berakibat
munculnya militansi sempit atau penolakan
terhadap pluralitas. Dalam tasawuf, antara IQ (dzaka al-Dzihn), EQ (tashfiat
al-Qolb) dan SQ (tazkiyah al-nafs ) dikembangkan secara harmonis,
sehingga menghasilkan daya guna luar biasa
baik horizontal maupun vertikal.
Sufi besar Ibnu 'Arabi melihat manusia perlu memekarkan apa yang disebut
sebagai "daya-daya khoyyal" yakni suatu
potensi daya dan kekuatan substansial yang
mengejawantah secara hakiki, tetapi faktawi dan bergerak menuju pengungkapan diri dalam dunia indrawi yang
merupakan bentuk abadi dan azali. Demikianlah,
manusia perlu dikembalikan pada pusat
eksistensi atau
pusat spiritual dan dijauhkan dari hidup di pinggir lingkar eksistensi.
pusat spiritual dan dijauhkan dari hidup di pinggir lingkar eksistensi.
Di tengah
kondisi multikulturalisme, yang patut dipertahankan dan
dikembangkan adalah penguatan pendidikan yang berbasis spiritualitas yang justru akan meneguhkan otentisitas kemanusiaan yang senantiasa dicitrai oleh ketuhanan
dikembangkan adalah penguatan pendidikan yang berbasis spiritualitas yang justru akan meneguhkan otentisitas kemanusiaan yang senantiasa dicitrai oleh ketuhanan