FILSAFAT AL-GHAZALI
AL-GHAZALI
Oleh: Suteja
Pertentangan antara filosof
yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali
semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul
Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari
filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi
oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the
Incoherence).
Kemenangan pandangan
Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran
ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu
Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh
maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri
(2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula
dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian
filsafat.
Bersamaan dengan mundurnya
kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan.
Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan
terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd
diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.
Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa
Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum
muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar
Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150
M.
Hasil terjemahan dari Toledo
ini menyebar sampai ke Italia. Dante
menulis Divina Comedia setelah
terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin
dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan
oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap
dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga
sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan
Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat
ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick
II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan
Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan
kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael
Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa
latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas
dari hasil terjemahan Michael Scot.
Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil
menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd
dengan judul de coelo et de mundo
dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh
Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam
Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat,
serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab
Setelah Kaisar Frederick II
wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang
Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut,
yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328. Pada masa itu pula kalangan gereja melakukan
sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu
paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu
Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger
Bacon. Mereka yang menentang Averroisme
umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam
kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal
ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di
Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan
oleh filosof Islam.
Uraian diatas menunjukkan kepada kita betapa
besar sumbangan peradaban Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang kita kenal sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat
kecenderungan untuk menafikan pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan.
Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene Sedillot, yang menyatakan bahwa
sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban umat manusia, hanyalah berupa
pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun
ditanami.
Semangat mencari kebenaran
yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir padam oleh karena jatuhnya
Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan Islam. Wells (1951) menyatakan bahwa jika orang
Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak Angkat
Metode Ilmiah. Metode Ilmiah
diperkenalkan ke dunia barat oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya dimantapkan
sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).
Semangat para filosof dan
ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lepas dari semangat
ajaran Islam, yang menganjurkan para pemeluknya belajar segala hal, sampai ke
Negeri Cina sekalipun, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan
hadits Nabi Muhammad SAW.
Mengenai pertentangan yang
terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf, mengenai alat yang digunakan
dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini,
seharusnya dapat dihindari, bilamana
kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia
dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu.
Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang
seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih berkembang daripada
lainnya.
Orang yang sangat berkembang
potensi akalnya, sangat senang menggunakan akalnya itu untuk memecahkan
sesuatu. Orang demikian ini lebih senang
melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran sejati dan
sangat berbakat menjadi pemikir atau filosof.
Sementara itu orang yang
sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang mengeksplorasi
perasaannya untuk memecahkan suatu masalah.
Orang demikian ini amat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio,
untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi seniman atau ahli
tasawuf.
Oleh karena itu seharusnya
tidak perlu terjadi pertentangan antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena
keduanya adalah anugerah tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa
syukur. Seharusnya filosof dan ahli
tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi diantara
keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Thufail dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.
KARYA-KARYA AL-GHAZALI
1. Maqasid al-Falasifah (Pemikiran kaum
filosuf) diterjemahkan adalam bahasa Latin Logica et Philosophia Al-Ghazalis
tahun 1145 M, oleh Dominikus Gundisalinus.
2. Tahafut al-Falasifah, artinya kekacauan
pemikiran filosuf-filosuf. Buku ini telah diterjemahkan oleh Cra De Vaux dan
beberapa bagian diterjemahkan oleh Boer dan Asian Palacios.
3. Al-Munqidz min al-Dhalal, (penyelamat dari
kesesatan). Buku ini berisi sejarah perkembangan alam fikir al-Ghazali dan
mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa ilmu, serta jalan untuk
mencapai Tuhan.
4. Mizan al-Amal, (Timbangan amal). Sebuah buku logika,
yang disalin ke dalm bahasa Inggris oleh M. Goldental.
5. Mahkum Naazzr, sebuah buku tentang logika.
6. Mi’yar al-Ilmi, juga buku tentang
logika.
7. Al-Wajiz, sebuah buku memuat masalah fikih (ilmu
fiqih)
8. Qawaid al-Aqaid, pembahasan/serangan
terhadap mutakallimin. Buku ini diterjemahkan oleh H Buer Die Dogmatik
al-Ghazali’s
9. Ihya’ Ulum al-Din, buku ini sangat
berpengaruh besar terhadap kaum Muslim. Sebuah buku standar tentang ahklaq dan
pedoman hidup. Buku ini telah banyak disalin ke dalam berbagai bahasa.
PENGARUH
FILSAFAT AL-GHAZALI
Filsafat
etika al-Ghazali ini cepat metara dan diserap oleh dunia Islam waktu itu,
disebabkan golongan Ahli Sunnah menyambut dengan suka cita terhadap filsafat
etika tersebut. Pengaruh ini
mengalahkan pengaruh filsafat metafisika yunani yang sangat berkembang di zaman
al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina untuk kalangan Masyrik. Tetapi sebaliknya di
Maghrib (barat) perkembangan filsafat justru setelah pudarnya pengaruh filsafat
Yunani di dunia Timur, yaitu jasa dari Ibnu Rusyd yang berpolemik kalangan
dengan al-Ghazali.