MENTAL PEZIARAH KUBUR
MENTAL Peziarah
KUBUR
catatan dari komplek makam sunan gunung jati cirebon
SUTEJO IBNU PAKAR
PENGANTAR
Makam wali
adalah kawasan damai di tengah keributan dunia. Fenomena tradisi ziarah makam
para wali senantiasa merepresentasikan sintesa agama dan konteks kulturnya
dalam panorama heteroginitas, yang sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang
global dan universal, yakni pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya
yang menjadi tempat suci.
Seperti
dengan mudah kita saksikan di makam para
wali pada umumnya, adalah tempat
pengungkapan perasaan religius yang bebas serta juga tempat memelihara
ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid mencerminkan keseragaman dunia
Islam, maka amal ziarah ke makam wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang
tercakup dalam dunia Islam.
Makam
wali, adalah juga tempat pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai
paksaan, dan tempat merenungkan nasibnya, juga tempat berlindung sebentar untuk
bermacam orang pinggiran: pengemis, orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan, dan sebagainya.
Mengesampingkan
terlebih dulu sejumlah kritik dan keberatan terhadap fenomena tradisinya,
ziarah ke makam para wali diakui atau tidak telah membawa ingatan kita pada
segenap hubungan antara orang suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan
ruangnya. Tak ada satu pun tempat suci dalam tradisi ritus agama-agama besar
yang tidak berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci,
sebutlah nabi dan rasul.
Tempat atau
tanah suci inilah yang kemudian tak sekadar dipercaya sebagai kutub dari
seluruh kesadaran transenden, namun juga
yang lantas berkaitan dengan ihwal identitas.
Penyebaran agama-agama ke berbagai belahan dunia, sebutlah Islam, telah membuat tanah suci itu (Mekah)
semakin jauh dan mistis, sehingga
membuat umatnya menciptakan tempat-tempat
suci baru yang dianggap cerminan dari tanah suci yang sebenarnya. Karena
itulah, sesungguhnya hanya satu tempat
saja yang ditunjuk oleh sejarah sebagai
tanah suci, tetapi umat terus
memperbanyak jumlah itu, sambil menyucikan negerinya masing-masing dan
menciptakan peta kesucian baru.
Proses
penghadiran peta kesucian baru ini meniscayakan hubungannya dengan identitas pengeramatan
manusia yang kemudian tersebut sebagai
wali. Oleh karena dalam Islam tidak ada
lembaga yang bertugas mengesahkan kewalian, maka masyarakatlah yang mengangkatnya menjadi
wali yang erat kaitannya dengan jaringan
kehidupan tarekat serta yang secara
genealogis merujuk pada Nabi Muhammad saw. sebagai kutub dari seluruh
identifikasi orang suci. Para wali tentu saja merupakan pewaris spiritual Rasulullah,
akan tetapi mereka bukanlah jembatan
langsung dengan nabi yang didambakan itu.
Oleh karena
itu, setiap golongan manusia mereka-reka berbagai silsilah buatan guna
menghubungkan para wali mereka langsung dengan Rasulullah saw. Para wali
membentuk sebuah jaringan rantai panjang yang melalui fenomena
peng-keramatan-nya, menghubungkan para peziarah dengan sang penerima wahyu
Ilahi. Setiap wali akhirnya menjadi leluhur baru buat satu marga, satu desa,
satu daerah, bahkan satu bangsa.
Tradisi
ziarah makam para wali adalah sebuah kontrol atas waktu, sifat moral tradisi
erat-terkait dengan proses interpretatif, di mana masa lalu dan masa sekarang
dihubungkan. Waktu, bahkan juga ruang,
dalam ritus ziarah, dikontrol melalui
kesadaran atas proses penghadiran sosok wali. Seorang wali dan makamnya
yang dikeramatkan, ”dibentuk” menjadi
mediator antara hari ini dan masa lalu, antara orang kebanyakan dan
Rasulullah saw. sebagai kutub dari kesadaran atas orang-orang suci.
Menariknya,
seluruh prosesi ritus di makam para wali dan letak geografisnya sebagai tempat
suci amat kuat dipengaruhi oleh
penafsiran ihwal alam sebagai ruang sakral. Nyaris seluruh makam keramat di Jawa cenderung berada di
atas bukit untuk menjelaskan pemaknaan
simboliknya dalam khazanah budaya lokal. Dan ini tak hanya ada dalam tradisi
Islam di Jawa. Sendang Sono di Yogyakarta, tempat di mana umat Katolik
berziarah juga menyimbolkan bukit
sebagai perjalanan menuju ke pusat
kesadaran mistis. Sendang Sono dianggap menjadi tempat suci bagi
umat Katolik sehubungan dengan kepercayaan akan penampakan Maria di mulut goa.
Perjalanan para peziarah ke tempat itu harus menaiki bukit dengan anak tangga
yang melelahkan. Seluruhnya ini diandaikan menjadi simbol peristiwa penderitaan
Kristus menuju puncak Golgota. Tradisi ziarah dalam konteks ini
menjelaskan apa yang dimaksud tradisi dalam pemaknaannya sebagai media pengatur
memori kolektif.
Dan satu hal
yang selalu terdapat di berbagai tempat suci adalah keberadaan air keramat
yang diyakini mengalir dari masa lampau bersama kesucian tempat
itu. Pada tempat-tempat suci
umat Islam, agaknya hal ini untuk mengutuhkan seluruh replika tentang Mekah dengan
keberadaan air zamzamnya. Lepas dari soal itu air di situ menjadi
relik yang tidak hanya dilihat dari hubungannya dengan masa lalu, tapi lebih
menekan pada faktanya yang berada di tempat yang dianggap suci. Selain air
biasanya juga terdapat sejenis binatang tertentu yang dianggap keramat, dari
mulai ikan, ular, hingga kera yang pantang diganggu.
Bagi para
peziarah, berdoa dan bertirakat di tempat suci adalah ikhtiar untuk
berkomunikasi dengan isyarat ketuhanan
yang tak terjangkau. Namun seluruh ikon, relik, dan prosesi ritual di tempat yang dikeramatkan itu,
sekonyong-konyong menjadi medium yang
mentransformasikan ruang kekinian yang
profan ke dalam waktu dan ruang masa lalu yang penuh mistis dan suci. "Apakah air itu menyembuhkan
atau tidak, itu tidak lagi penting. Orang di situ membutuhkan isyarat-isyarat
Ilahi meskipun kebenarannya hanya dari mulut ke mulut. Seperti Sendang Sono
bagi umat Katolik, tempat-tempat seperti itu
menjadi tujuan imajiner. Air dalam kepercayaan berbagai agama
memang senantiasa menjadi simbol dari
kehidupan dalam konteks penyucian. Jarak waktu dan ruang memang telah
menciptakan berbagai kesadaran tentang pengalaman mistis yang terdapat dalam
tradisi ziarah. Jarak itulah kemudian dalam fenomena ziarah berpeluang
membangkitkan kesadaran-kesadaran spiritual. Jarak waktu dan ruang bagi para
peziarah menerbitkan kesadaran spiritual imajiner bahwa ia menjadi
bagian dari sesuatu yang lebih besar meski tak bisa menjangkau puncaknya.
Para
peziarah seolah menaiki anak tangga. Meski sadar bahwa mereka tak bisa mencapai
puncak tangga di mana di situ bermukim orang-orang suci hingga Rasulullah, tapi
menapakkan kaki di anak tangga pertama pun diyakini ia sudah berada di tangga.
Artinya, mereka merasa sudah berkomunikasi dengan orang suci.
Menjadi bagian
dan luluh ke dalam semesta misteri kegaiban tempat-tempat suci adalah juga
bagian dari bagaimana identitas itu dimaknai. Tak sedikit tempat suci yang
dipercaya sebagai pusat atau poros dunia. Pusat atau poros dimaksud lebih
menekan pada poros kesadaran. Terlebih lagi sesuatu yang sakral senantiasa
bersifat komunal. Dalam konteks ini, sakralitas tidak lagi dinilai hanya karena hubungannya dengan masa lalu,
tapi karena ribuan orang berkonsentrasi di tempat itu sehingga memancarkan
energi spiritual.
Para
peziarah tak pernah memilih mana makam wali yang benar, sebab ziarah lebih
merupakan unsur rasa ketimbang nalar kebenaran sejarah. Makam wali dan para
peziarah, akhirnya, merupakan pertemuan
yang kerap menakjubkan tentang bagaimana tradisi dan identitas itu dimaknai.
Tentu saja hal ini tidak mengabaikan
fenomena berikutnya, yakni ketika para peziarah hanya datang membawa
kepentingan-kepentingan yang serba pragmatis.
MENTAL SEHAT
Peziarah KUBUR
Bagian ini akan menyuguhkan beberapa indikator tentang kesehatan mental
para peziarah makam Sunan Gunung Djati Cirebon dalam persepektif Psikologi.
Beberapa indikator dimaksud sebenarnya diilhami oleh rumusan para ahli
psikologi tentang ciri-ciri atau tanda-tanda kesehatan mental para penganut
agama. Beberapa indikator dimaksud adalah meliputi : kesadaran beragama yang
matang, motivasi
kehidupan beragama yang dinamis, pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan
produktif, pandangan hidup yang integral/komprehensif, semangat pencarian dan
pengabdian kepada Tuhan.
1. Kesadaran Beragama yang Matang
Ketika seseorang pemeluk
agama telah memiliki differensiasi yang baik, maka semua pengalaman, rasa dan
kehidupan beragama makin lama, makin matang, makin kaya, kompleks dan makin
bersifat pribadi. Pemikirannya makin kritis dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi dengan berdasarkan ke-Tuhanan. Penghayatan hubungan dengan Tuhan
makin dirasakan bervariasi dalam berbagai suasana dan nuansa. Dalam
kesendiriannya ia mencari dan merasakan kerinduan kehadiran Tuhan.
Lazimnya para peziarah ke makam adalah orang-orang yang bertujuan untuk
dapat menyelesaikan masalah. Diantara mereka kebanyakan memiliki pemikiran yang
kritis dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Artinya, selain memanfaatkan
ziarah sebagai media pemecahan masalahnya, mereka juga tidak meninggalkan
ikhtiar lahiriah. Seperti, Mang Udin salah seorang peziarah yang berprofesi
sebagai karyawan, dia menyempatkan ziarah ke makam Sunan Gunung Djati hanya sebagai
salah satu instrument dalam menghadapai masalah. Sebenarnya, dia mengetahui
cara menyelesaikan masalah di tempatnya kerja akan tetapi, untuk memperkuat
rasa percaya diri dia menyempatkan diri untuk berziarah dalam rangka memperkuat
spiritualitasnya sebagai seorang pekerja. (Wawacara 20 April 2007).
2. Motivasi Kehidupan
Beragama yang Dinamis
Kesadaran agama yang muncul dari pemeluk agama akan tumbuh dan
berkembang menjadi pusat sistem
kepribadian yang mantap, maka ia akan mendorong, mempengaruhi, mengarahkan,
mengolah serta mewarnai semua sikap dan tingkah laku seseorang. Peranan kesadaran beragama
itu merasuk ke dalam aspek mental lainnya. Tanggapan, pengamatan,
pemikiran, perasaan, dan sikapnya akan diwarnai oleh rasa keagamaan.
Motivasi kehidupan beragama
para peziarah makam Sunan Gunung Djati di Cirebon, menurut Apeng [1] penziarah dari jambi (Cina
Muslim) ketika diwawancarai mengatakan:
Motivasi kehidupan beragama masyarakat di sekitar Gunung Jati
mencerminkan nilai-nilai ideal seperti terkandung di dalam ajaran wali yang
dibawa syaikh Syarif Hidayatullah perlu terus ditingkatkan agar semakin dekat
dengan nilai, norma, dan ajaran agama. Kualitas kehidupan beragama tercermin
pada perilaku sosial setiap pemeluknya. Banyak indikasi yang menunjukkan bahwa
kualitas kehidupan beragama peziarah Makam Keramat Syaikh Syarif Hidayatullah
menunujukkan adanya toleransi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat adanya makam
warga keturunan Cina yang menurut cerita adalah istri Syaikh dan banyak juga
warga-warga keturunan cina yang pada menziarahinya padahal mereka non Islam,
akan tetapi masyarakat, pengunjung, dan para petugas di Sekitar makam keramat
Syaikh tidak merasa terganggu dan bahkan mereka menghormati dengan cara
memberikan jalan walaupun kondisi desak-desakan.
3.
Pelaksanaan Ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif
a. kemantapan dalam Melaksanakan Ajaran
Agama
Berdasarkan penuturan juru
kuncen, pengamatan penulis terhadap aktivitas ziarah (khususnya upacara
tahlilan), dan pengakuan para peziarah, sebagian besar peziarah makam Sunan
Gunung Djati Cirebon tergolong kelompok masyarakat yang secara praktis sebagai
pengamal ajaran agama (Islam) yang taat, patuh dan senang melakukan
amalan-amalan ibadah secara istiqomah (kontinyu). Hal ini dapat diamati dari berbagai aspek
misalnya, penampilan dan citra para peziarah yang tergambar dalam tatacara
berbusana (menutup ’aurat), gaya berbicara, sopan santun, dan peghormatan
terhadap sesama peziarah, juru kuncen, para pedagang, juru parkir, dan bahkan
penghormatan terhadap situs-situs di
sekitar Astana.
Para peziarah makam Sunan
Gunung Djati yang demikian menampakkan kesan kuat bahwa mereka dari segi
tatacara berbusana, berbicara, sopan santun, dan peghormatan terhadap sesama
adalah kelompok masyarakat muslim yang bermoral. Sedangkan sikap mereka yang
lugu, sederhana, memahami kondisi masyarakat setempat (budaya lokal),
menghormati perbedaan-perbedaan, menghormati tamu (karena peziarah identik
dengan tamu), mampu menjaga keseimbangan diri ketika mendapatkan ”benturan”
dari luar dirinya, mencerminkan kepribadian mereka yang integral dalam menjalankan
ajaran agama yang mereka yakini kebenarannya. Kondisi jiwa keagamaan mereka
tergolong stabil dan harmonis.
b.
Tanggungjawab dilandasi wawasan/pandangan yang luas
Segala bentuk penampilan
lahiriah yang digambarkan di atas sesungguhnya mencerminkan rasa tanggungjawab
yang kuat dalam melaksanakan ajaran agama yang diyakininya, dilandasi oleh
wawasan atau pandangan yang luas dalam beragama.
4. Pandangan
Hidup yang Integral/Komprehensif
Berusaha mencari nilai-nilai
baru dan mentafsirkannya. Dalam kajian psikologi, diantara ciri pandangan hidup
yang integral atau komprehensif adalah adanya usaha mencari nilai-nilai baru
dan usaha untuk melakukan interpretasi nilai-nilai baru tersebut.
Para peziarah makam Sunan
Gunung Djati sebagian besar merupakan penduduk atau warga masyarakat yang
berasal dari daerah Cirebon dan Desa Astana khususnya. Mereka juga bukan ahli
atau kerabat keraton Kasepuhan, Kanoman, atau Kacerbonan. Kehadiran mereka,
tidak diragukan, ke komplek Astana pada mulanya untuk berziarah ke makam Sunan
Gunung Djati sebagai perwujudan dari rasa
khidmah kepada salah sorang da’i dan figur yang menjadi penyebab
masyarakat Jawa Barat menjadi hamba Allah yang beriman (mu’min billah),
menganut dan menghamalkan ajaran agama-Nya.
Secara sepontan mereka
kemudian mendapatkan nilai-nilai baru yang sangat berkesan. Nilai-nilai baru
itu kemudian menjadi pendorong (sugesti) mereka untuk lebih mengetahui,
mengenal dan memahami eksistensi dan esensi yang sebenarnya. Drs. Sulaiman
Yusuf (asal Cianjur) misalnya ketika pertama kali berziarah menemukan hal-hal
baru yang sebelumnya tidak dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dia merasa
harus datang kembali untuk berziarah karena bermaksud mengetahui dan mengenal
lebih jauh nilai-nilai baru di dalam tradisi ziarah kubur di komplek Astana
Gunung Jati.
Baginya, upacara tahlilan di
hadapan ataupun di sekitar makam Syaykh Syarif Hidayatullah merupakan penorama
dan nuansa keberagamaan yang kompleks dan sekaligus baru sama sekali. Sebagai
penganut agama Islam yang ”abangan”, menurut pengakuannya, dia merasa
terpanggil memahami makna-makna bacaan dalam upacara tahlilan atau dzikir yang
sangat beragam jenis dan macamnya. Dia merasa kalimat atau bacaan untuk
mengingat Allah (dzikrullah) sangat beragam dan siapapun bahkan yang
buta aksara pun bisa dan boleh melafalkannya. Selain itu, dia merasakan
mendapat sesuatu yang baru yang ternyata dapat memberikan jawaban solutif bagi
perkembangan kepribadiannya. Dia merasakan dzikrullah adalah satu-satunya solusi
paling effektif dan tepat dalam mengatasi berbagai persoalan terutama tentang
gejolak dan konflik internal (batiniah) seseorang, terutama dirinya. Itulah
diantara pengakuan dan jawabannya ketika ditanya mengapa dirinya tertarik untuk
lebih mengetahui hal-hal baru dari upacara tahlilan ketika ziarah ke komplek
Astana Gunung Jati. (Wawancara 25 April
2007).
5. Semangat Pencarian dan
Pengabdian kepada Tuhan
Inidikator kondisi mental yang sehat adalah adanya semangat
pencarian dan pengabdian kepada Tuhan. Indikator ini dapat diamati dari
semangat seseorang dalam mencari kebenaran, semangat mencari rasa ketuhanan,
adanya semangat mencari cara-cara terbaik untuk berhubungan dengan manusia dan
alam, dan melakukan evaluasi terhadap peribatadannya untuk menemukan kenikmatan
penghayatan kepada Tuhan.
a. semangat dalam mencari kebenaran
Semangat seseorang dalam mencari kebenaran dapat ditempuh dengan
cara-cara rasional dalam kehidupan nyata (dunia empiris). Ia juga dapat
ditempuh degan cara-cara yang tidak dapat dijangkau oleh pemahaman nalar yaitu
dengan jalan intuisi. Kekuatan dan ketajaman intuisi inilah yang dapat memahami
kenyataan-kenyataan yang bersifat supranatural atau metafisis. Dalam ajaran
agama Islam, yang selama ini diyakini oleh para penganut yang dianggap
tradisionalis, dikenal adanya alam syahadah (alam nyata, empiris), alam malakut
dan alam jabarut.
Alam syahadah alam
atau kosmos yang dapat dijangkau dan dilihat dengan melalui indera manusia
normal. Alam malakut adalah alam yang dapat dijangkau dan dimngerti
dengan pemahaman terhadap asma Allah, karenanya ia disebut ’Alam al-Asma’.
Sedangkan alam jabarut adalah
alam atau kehidupan akhirat. Para peziarah tidak hanya mengenal alam empiris.
Mereka mengenal dan meyakini adanya alam malakut dan alam jabarut. Bahkan
diantara mereka meyakini dirinya dapat mengindrai dan bahkan dapat memasuki
alam malakut. Bahkan banyak
diantara mereka yang mempelajari tatacara (ilmu) sebagai instrumen agar dapat
memasuki alam amalakut.
b. semangat mencari rasa ketuhanan
Terlepas apakah alam malakut itu bersifat objektif ataukah subjektif, yang
jelas mereka para peziarah makam Sunan Guung Djati memiliki semangat mencari
kebenaran. Semangat dalam mencari kebenaran yang mereka lakukan sesungguhnya
dilandasi oleh keimanan dalam rangka memuaskan rasa ketuhanan mereka. Kebenaran inilah kemudian
yang dijadikan landasan mereka dalam menemukan cara-cara terbaik berhubungan
dengan sesama manusia dan alam semesta. Karena bagi mereka kemampuan memasuki
alam malakut ini merupakan
pedoman untuk memahami eksistensi alam baik alam syahadah ataupun alam mughoyyabat
(suara natural atau metafisik). Dan,
pada akhirnya mereka merasa berkewajiban untuk memperlakukan sesama manusia dan
alam sesuai dengan kehendak atau sunnah Allah.
c. melakukan
evaluasi peribadatan kepada Tuhan
Ketika seseorang yang berusaha memahami dan mengenali alam malakut,
seperti dijelaskan salah seorang peziarah asal Indramayu Drs. KH. Muhammad
Fattah Yasin, sebenarnya membutuhkan syarat kebersihan dan kejernihan aspek
jiwa atau batiniah. Kejernihan batiniah ini, menurutnya, sangat menentukan
keberhasilan seseorang memasuki alam malakut,
disamping peribadatan-peribadatan
kepada Allah SWT. Dan, baginya, pada saatnya kebersihan batiniah juga
merupakan alat untuk melakukan evaluasi jiwa keagamaan seseorang. Karenanya,
setiap yang hendak memahami alam malakut terlebih dahulu menguatkan intuisi dengan
instrumen pensucian jiwa. Pensucian ini sangat bergantung kepada kemauan
seseorang melakukan evaluasi peribadatannya kepada Allah SWT.
SUTEJO IBNU PAKAR
[1] Wawacara
pada 08 Mei 2007. Apeng dari Jambi adalah warga keturunan Cina yang sudah masuk
Islam dan sering ziarah ke makam keramat kenjeng Syaikh
Syarif Hidayatullah