KEBENARAN, KABAIKAN, DAN KEINDAHAN
KEBENARAN,
KABAIKAN, DAN KEINDAHAN
OLEH:
SUTEJA
PENDAHULUAN
Secara
historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics)
atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos
(teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Aksiologi bisa disebut
sebagai the theory of value atau teori nilai bagian dari filsafat yang
menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right
and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya
seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik
teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas,
yakni memakai kata-kata atau konsep semisal “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis
tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua
kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism.
Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat
bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or
independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua
yang pertama beraliran obyektivisme, sedangkan dua berikutnya
beraliran subyektivisme.
Pertama, teori nilai intuitif (the
initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika
tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang
bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim
atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan
melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan
bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek,
dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau
perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui
proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau
sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the
rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai
yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural.
Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan
nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang
lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi
dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif,
absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik
theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan
kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk
biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh
individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai
tidak absolut atau ma’sum (invallible) tetapi bersifat relatif
dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada
kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia. Keempat, teori nilai emotif (the
emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep
nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep
moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi
emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak
bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi
bagian penting dari tindakan manusia.
Pendidikan
nilai adalah
pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek nilai kebenaran, kabaikan, dan
keindahan. Pendidikan nilai adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya
dilakukan untuk mengarahkan generasi muda atas nilai-nilai dan kebajikan yang
akan membentuknya menjadi manusia yang baik (insan kamil) yang menjadi
tujuan pendidikan Islam. Selain itu, pendidikan nilai bertujuan membentuk kedewasaan intelektual dan emosianal generasi muda yang
memungkinkan untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau
permasalahan rumit yang dihadapinya dalam kehidupan. Konsep ihsan dalam Islam
merupakan nilai tertinggi yang dapat dijadikan pedoman didalam mengawasi (to
controll), mengarahkan dan membina fitrah suci dan prilaku keseharian peserta didik.
KEBAHAGIAAN
Kebahagiaan
manusia adalah terletak pada keberhasilan manusia menjadi hamba dan sekaligus
khalifah Allah. Tugas utama manusia
sebagai hamba adalah beribadah dalam arti luas dan sebenar-benarnya. Ibadah adalah setiap tindakan dan pebuatan
yang didasari oleh niatan untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Bentuk peribadatan kepada Allah yang sangat
urgen adalah peribadatan yang bersifat
langsung berhubungan dengan Allah
(ibadah mahdhah) dan lazim dikenal dengan sebutan ibadah ritual.
Ibadah ritual
yang sangat utama dan pertama, setelah persaksian atau syahadat, adalah
mendirikan shalat fardhu. Didalam kewajiban shalat inilah manusia diajarkan
untuk mengenali posisi dirinya sebagai al-‘Abid dan al-Makhluq serta posisi
Allah sebagai al-Ma’bud dan al-Khaliq. Ibadah shalat juga dapat
dijadikan media pembelajaran penyadaran tentang kehadiran Allah Yang Maha
Berkuasa dan Berkehendak atas kuasa-Nya.
Shalat adalah ibadah pertama dan utama yang dapat dijadikan media
pembinaan tentang makna rasa ikhlash, khusyu’, dan hudhur yang kemudian menghidarkan seseorang dari
perbuatan-perbuatan yang meugikan berbagai fihak. Ikhlash, khusyu’ dan hudhur
inilah kelak menjadi faktor pendorong bagi timbulnya sikap kebersamaan dan
kepedulian diantara sesama manusia.
Sedangkan sebagai
wakil Allah di bumi ini tugas utama manusia adalah melakukan amal saleh dengan
upaya-upaya konkit menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat
dinikmati oleh semua makhluk Allah.
Tugas kekhalifahan sebenarnya merupakan pelengkap bagi tugas kehambaan
manusia. Tugas kekhalifahan ini tidak akan muncul bila tidak didahului oleh
kemampuan dan keberhasilan manusia sebagai hamba Allah. Landasan ibadah, baik
ketika manusia sebagai ‘abid ataupun khalifah Allah, adalah kedalaman
rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah. Kecintaan yang akan melahirkan
kepatuhan dan kepasrahan secara total terhadap semua kehendak (iradah) Allah.
Landasan inilah yang menjanjikan diperolehnya kerelaan dan suka cita Allah (ridha/mardhatillah).
Sang hamba pun tentu merasakan hal yang sama. Allah menegaskan betapa tingginya
nilainya keimanan dan amal saleh yang tumbuh dari rasa cinta (mahabbatullah).
Rasa cinta kepada Allah dan rasul-Nya adalah cermin dari emosionalitas manusia
sebagai makhluk psikologis.
Pendidikan. dalam pandangan Islam, berarti upaya membangun individu memiliki
kualitas dan peran sebagai khalifah, atau, setidaknya, individu berada pada jalan yang bakal
mengantarkan kepada tujuan tersebut.[1] Tujuan pendidikan merupakan
cita-cita tertinggi dan ideal yang hendak dicapai setelah melakukan aktivitas
pendidikan. Tujuan umum pendidikan adalah tujuan yang berada jauh dari masa
sekarang.
Tiga potensi
dasar yang dimiliki manusia sebagai khalifah adalah : fitrah, kemampuan untuk berkehendak (qudrah, free
will). Dalam dunia pendidikan, manusia dibedakan dari makhluk-makhluk lain
semisal jin, malaikat dan binatang
karena ketiga potensi dasar tersebut. Karena ketiga potensi itu pula manusia diberi amanat dan didaulat
oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di bumi ini. Tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh
al-Quran adalah dalam rangka menciptakan
kebahagiaan yang sebenarnya adalah sebagai berikut :[2]
1.
mengenalkan
manusia akan peranannya di antara sesama manusia dan tanggungjawab pribadi
didalam hidup.
2.
mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan
tanggungjawabnya dalam tata hidup bermasyarakat.
3.
mengenalkan manusia akan alam ini dan mengajak manusia
mengetahui hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada manusia
untuk mengambil manfaat dari alam.
4.
mengenalkan
manusia akan Sang Pencipta alam ini dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.
Tiga potensi
dasar yang dimiliki manusia sebagai khalifah adalah : fitrah, kemampuan untuk berkehendak (qudrah, free
will), dan akal. Dalam dunia pendidikan, manusia dibedakan dari
makhluk-makhluk lain semisal jin, malaikat dan binatang karena ketiga potensi
dasar tersebut. Karena ketiga potensi itu
pula manusia diberi amanat dan didaulat oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya
di bumi ini. Pendidikan dalam pandangan
Islam berarti upaya membangun individu memiliki kualitas dan peran sebagai
khalifah, atau setidaknya individu berada pada jalan yang bakal mengantarkan
kepada tujuan tersebut.[3] Tujuan pendidikan merupakan cita-cita
tertinggi yang harus dicapai. Proses pendidikan, termasuk di IAIN SYEKH NURJATI CIREBON, yang salah satu
tugasnya mentransfer ilmu pengetahuan dan
menanamkan pemahaman, diharapkan
dapat memenuhi apa yang menjadi kehendak (iradah) Allah yaitu tumbuhnya
rasa takut khasyyah kepada Allah dan dapat mendorong proses
penyadaran, dan kesadaran itu diharapkan dapat melahirkan amal saleh dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam pergaulan dengan Allah, pergaulan dengan
sesama manusia, ataupun dalam proses pemeliharaan, pelestarian dan pemanfaatan sumber
daya alam ciptaan Allah. Allahu A’lam bi al-Shawab