TITIP RINDU BUAT KANG AYIP[
TITIP
RINDU BUAT KANG AYIP[1]
SUTEJO
IBNU PAKAR
Sufi
adalah putra dari zaman dan bangsanya. Itulah kesan mendalam tentang sosok Kang
Ayip Usman Yahya.[2]
KH. Abdullah ‘Abbas, Rois Syuriyah NU Jawa Barat waktu itu, menegaskan “Usman
itu Ayip dan NU”. KH. Abdullah Abbas, di sela-sela rapat
menjelang keberangkatan rombongan PC NU Kabupaten Cirebon ke arena Muktamar NU
di Cipasung, menegaskan Ayip itu salah satu modal NU dalam mempersatukan ummat. Kalimat ini menggambarkan kepedulian dan
kedekatan Kang Ayip dengan nahdhiyyin.
Mengentaskan kemiskinan warga masyarakat sekitar, melayani kebutuhan semua
komunitas beragama, dan mensejehterakan sesama termasuk komunitas hafdizoh (wanita penghafal al-Quran) warga Fatayat NU
Cirebon adalah amal saleh yang harus diteladani untuk dilanjutkan generasi muda
NU Cirebon yang mengaku dekat dan atau
mengidolakan dia. Kang Ayip memiliki kesadaran dan kemampuan menerima
fakta-fakta dan realitas dunia (termasuk diri sendiri) daripada menolak atau
menghindarinya.
Gagasan-gagasan
dan tindakannya yang cenderung spontan, bila dilihat atau didengar dari
kejauhan, memang mengejutkan. Kreativitasnya dikenal sangat
tinggi dan variatif meskipun terkadang sulit dipahami atau diikuti. Bahkan
dinilai tendensius dan politis oleh sebagian pihak. Kami merasa sangat
dimuliakan karena diperkenalkan dan
dilibatkan dalam gerakan sosial (amal saleh) operasi katarak di
lingkungan Pesantren Khatulistiwa Kempek Ciwaringin Cirebon, bersama-sama dengan kelompok IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
serta Lion Club. Kang Ayip merasakan kebahagiaan ketika usahanya mensejahterakan dan membahagiakan orang
lain dapat terlaksana secara nyata, meskipun harus mengorbankan segala-galanya
dan hanya mendapatkan celaan atau kritikan.
KH. Ibnu
Ubaidillah Syatori, Prof. Dr. Chozin Nasuha dan KH. Husen Muhammad adalah
tokoh-tokoh intelektual (kyai) yang giat mencerdaskan warga NU Cirebon. Hampir
tiap malam kami berempat terlibat diskusi dengan Kang Ayip tentang keilmuan
Islam klasik, modern dan kotemporer. Kecerdasan dan kepekaannya terhadap
perkembangan keilmuan kontemporer tidak dapat diragukan oleh siapapun. Pilihan
kata dan kalimatnya mencerminkan sistematika berfikir seorang pemikir dan
penulis ulung. Suatu ketika KH. Husen Muhammad mengungkapkan kekagumaannya di depan kami bertiga “kita
heran, Ayip kuh kapan maca bukue, wonge weruan cah, dasar cerdas. Itu
sepenggal kalimat yang saya ingat
meskipun tidak persis sama. Kalimat itu
pun di-ia-kan oleh kedua kyai tersebut.
Pujian
tentang kealiman Kang Ayip yang datang dari berbagai kalangan ilmuwan dan
akademisi adalah sesuatu yang lazim dan tidak pernah menjadikan pribadinya
berubah, apalagi terbuai. Tawadhu’ (proporsional) dan tasamuh (toleran)
adalah karakter pribadi bertubuh tinggi besar dan sepintas “menyeramkan”, bagi yang belum mengenalinya
secara benar. Tidak jarang kami berbeda pendapat di depan forum bahkan sampai
terlontar guyonan yang “memalukan” tetapi selesai diskusi kecil
kondisi kejiwaan kami dibahagiakan oleh sikap seorang sahabat sejati tempat
kami menumpahkan keluh kesah dan perlakukan kasih sayang seorang ayah tempat
kami merajuk dan bermanja-manjaan. Bahkan tidak jarang terlontar ungkapan yang
mendewasakan kami, “jare ente priben”.
Semua
tutur kata, sikap dan perlakuan yang kami terima sejatinya adalah pendidikan
seorang ayah kepada putra yang sangat disayanginya. Kang Ayip tidak pernah
merasakan ditinggalkan anak didik atau anak ideiologisnya, karena dia tidak
pernah melupakan anak didiknya. “Jo, ente mendi bae” adalah
kalimat pertama yang dilontarkan ketika kami saling jumpa dan bahkan dalam
komunikasi via tilpon. Tidak jarang, perjumpaan diawali dengan makan bersama
padahal belum ada pembicaraan serius diantara kami. Rumah dan keluarga Kang Ayip adalah rumah dan keluarga kita bersama. Kami generasi muda nahdhiyyin
tidak pernah menyebutnya bu Nyai atau Ummi kepada istri beliau.
Sejak muda sampai dengan sekarang
kami menyebut dan memanggilnya mimi dan mimi pun berkenan.
Didalam
pergaulan sosial sehari-hari Kang Ayip memiliki interest khusus dalam
memecahkan masalah bersama dan mengutamakan masalah-masalah kemanusiaan, secara
cerdas, cepat dan mudah dilaksanakan. Memecahkan masalah merupakan fokus utamanya dalam melayani dan ngopeni
masyarakat. Intuisinya sudah terlatih sejak semula untuk selalu
berdekatan dengan orang lain dan menghargai kehidupan sesama. Kemampuan melihat segala sesuatu secara objektif
terlahir dari ketajaman intuisinya. Perilakunya merupakan cermin internalisasi
dan independensinya dari otoritas eksternal tentang nilai-nilai universal Islam
rahmatan lil ‘alamin. (ibnu
Pakar).