NGAJI BARENG KH. FUAD AMIN
NGAJI
BARENG KH. FUAD AMIN
catatan di PP Rodhotut Tholibin Babakan Cirengin
OLEH
SUTEJO IBNU PAKAR
Pengasuh Pesantren
Babakan Ciwaringin dikenal memiliki ikatan guru murid dengan KH. Cholil
Bangkalan, hadhratusyekh KH. Hasyim Asy’ari, serta KH. Nasuha Sukunsari
Plered Cirebon. Jaringan kekeluargaan diperluas dengan keluarga KH. Johar
Arifin Balerante Palimanan dan keluarga KH. Syatori (PP Daruttauhid)
Arjawinangun Cirebon. Salah satu menantu KH. Syatori adalah KH. Fuad Amin
(putra KH. Amin Sepuh). Kyai ini dikenal simpatik, ganteng dan berpenampilan selalu perlente meskipun hanya mengenankan sarung. Orang
kebanyakan mengenalnya sebagai kyai yang selalu necis dan mengenakan
jas. Sehingga menambah pesona krepibadiannya yang mudah akrab dengan siapapun
dan adaptable. Abang-abang becak di wilayah Desa Babakan adalah
komnuitas yang sering merasakan manfaat dan keberkahan sang kyai yang dikenal
progressif.
Langkah
kakinya yang cepat mencerminkan pola berfikir yang dipenuhi dengan berbagai
ide, gagasan dan terobosan. Bersama-sama dengan KH. Syafii (Ketua Tanfidziyah NU Kabupaten Cirebon), KH. Syarif Usman Yahya
dan KH. Fuad Hasyim (PB NU), dia dikenal
sebagai kyai yang proaktif memasyarakatkan khithah NU 1926. Khithah NU 1926
menegaskan bahwa, NU adalah jam’iyah diniyah dan independen, terlepas
dari orpol/parpol. Terobosan kembali ke khithah 1926 mengundang banyak tudingan
dan atau salah tafsir, termasuk golkarisasi NU. Pribadi sang kyai selalu
tampak tegar karena memiliki rasa humor yang tinggi dan dicirikan sebagai salah satu kecerdasan logika
dan kejiwaaan yang selalu fresh. Dia terbuka terhadap perbedaan karakter
santri dan masyarakat sekitarnya, sehingga safari khithah yang
dilakukannya semata-mata edukatif, bukan agitatif dan pemaksaan. Dia tidak
pernah menghalangi apa yang menjadi kemauan masyarakat, terbuka, bersedia dan
menerima dikritisi.
Pembelajaran
KH. Fuad Amin adalah pembelajaran yang memberdayakan. Semasa berada didalam bimbingan sang kyai antara
tahun 1977 sampai dengan tahun1983, penulis merasakan kondisi pembelajaran yang
sangat menyenangkan dan mencerdaskan. Ngaji kitab al-Fiyah ibnu Malik ataupun
al-Waraqat yang dilakanakan secara klasikal (bandongan) serasa
mengikuti perkuliahan di fakultas pascasarjana sekarang. Penulis yang kala itu masih
duduk di bangku madrasah aliyah tidak merasakan dibedakan dengan santri-santri
senior ataupun ustadz sekalipun. Sang kyai memposisikan diri sebagai isntruktur
dan fasilitator pelatihan. Kyai tidak
saja subjek tetapi partisipan pembelajaran (learner/stupid oriented
curriculum).
Sang Kyai
memiliki wawasan keilmuan madzhab selain madzhab yang dianut warga NU. Kami dilatih memahami, mengkaji dan
mengkritisi teks-teks kitab klasik dan didik melakukan kontekstualisasi teks
atau dhahir al-Nash.
Tidak jarang kami peserta pengajian diposisikan sebagai pribadi
mu’tazilah yang berseberangan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para santri
dididik termotivasi terbuka dan menerima perbedaan, memiliki independensi, dan kebebasan berfikir tetapi tetap
diajarkan kesadaran etis. Secara tidak
langsung kami para santri digiring menjadi pribadi pengikut struktural Jam’iyah
Diniyah NU yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlaq al-Karimah.
Sang Kyai
dikenal juga sebagai sang motivator ulung. Mengikuti pengajian (ngaji) kitab ‘Idzotun
Nasyiin bersamanya serasa
mendengarkan langsung kehendak sang pengarang kitab, Syekh Mushthafa
al-Ghalayin tentang generasi muda muslim. Tidak diragukan kemampuan sang kyai
didalam menterjemahkan teks-teks kitab. Para santri dapat memahami dengan mudah
teks-teks kitab. Meskipun tetap menggunakan gramatika kajian kitab ala
pesantren tetapi para santri yang mengikuti pengajian terdidik memahami siyaq
al-Kalam. Para santri termotivasi untuk melakukan internalisasi
didalam kehidupan sehari-hari. Para santri tumbuh menjadi pribadi yang mampu
menatap realitas dan menyadari tantangan dan masa depan generasi muda dan
bangsanya.
.
.
.