POTENSI IDEOLOGIS DAN KESEJARAHAN PENDIDIKAN PESANTREN
STUDI AWAL POTENSI
IDEOLOGIS DAN KESEJARAHAN
PENDIDIKAN
PESANTREN
oleh : Suteja
A. PENGANTAR
Pesantren, menurut Mastuhu, adalah adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari.[1] Pengertian tradisional di
sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah
hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam
kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan
dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa
mengalami perubahan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di
Indonesia.[2] Lembaga pendidikan ini telah
berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak
masa-masa permulaan kedatangan agama Islam di Nusantara. Lembaga ini berdiri
untuk pertama kalinya di zaman Wali Songo. Syaikh Mawlana
Malik Ibrahim atau Mawlana Maghribi (w.1419 M.) dianggap sebagai pendiri
pesantren yang pertama di Jawa.[3] Syaikh Mawlana Malik Ibrahim
dipandang sebagai Spiritual Father Wali Songo, gurunya
guru tradisi pesantren di tanah Jawa.[4]
Menyusul kemudian pesantren Sunan Ampel di daerah
Kembangkuning Ampe Denta Surabaya, yang pada mulanya hanya memiliki tiga
orang santri atau murid.[5] Pesantren
Sunan Ampel inilah yang melahirkan kader-kader Wali Songo seperti
Sunan Giri (Raden Paku atau Raden Samudro). Sunan Giri setelah tamat berguru
kepada Sunan Ampel dan ayahandanya sendiri (Mawlana Ishak)
kemudian mendirikan pesantren di Desa Sidomukti Gresik. Pesantren itu
sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Giri Kedaton.[6]
Raden Fatah adalah juga murid Sunan Ampel. Setelah mendapatkan
ijazah dari sang guru ia mendirikan pesantren di Desa Glagah Wangi, sebelah
Selatan Jepara (1475 M. =880 H.). Di Pesantren ini pengajarannya terfokus
kepada ajaran tasawwuf para wali dengan sumber utama Suluk
Sunan Bonang (tulisan tangan para wali). Sedangkan kitab yang
dipergunakan adalah Tafsir al-Jalalayn.[7] Ketika Demak dipimpin oleh Sultan
Trenggono (memerintah 1521 – 1546 M.= 928 – 953 H.) Fatahillah (Fadhilah
Khan) yang dipandang ‘alim dan dihormati masyarakat dipercaya
untuk mendirikan pesantren di Demak.[8]
Satu abad setelah masa Wali Songo, abad 17,
Mataram memperkuat pengaruh ajaran para wali. Pada masa pemerintahan Sultan
Agung, yang dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah
Sayyidina Penotogomo ing Tanah Jawi (memerintah 1613-1645 M. =
1022-1055 M.) mulai dibuka kelas khusus bagi para santri untuk memperdalam ilmu
agama Islam (kelas takhashshush) dengan spesialiasi cabang ilmu
tertentu, serta pengajian tarekat,[9] atau
pesantren tariqat.[10]
Hal baru yang sangat menarik adalah inisiatif Sultan Agung untuk
memperhatikan pendidikan pesantren secara lebih serius. Dia menyediakan
tanah perdikan bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi
kehidupan intelektualisme keagamaan (Islam) hingga mereka berhasil
mengembangkan tidak kurang dari 300 buah pondok pesantren.[11] Kenyataan ini identik dengan
dinamika dan kemajuan yang dinikmati Madrasah Nidzamiyah Baghdad ketika pada
masa-masa keemasannya di bawah kepemimpinan al-Ghazali.
Pada tahap-tahap pertama pendidikan pesantren memang masih
memfokuskan dirinya kepada upaya pemantapan iman dengan
latihan-latihan ketarikatan daripada menjadikan dirinya
sebagai pusat pendalaman Islam sebagai ilmu pengetahuan atau wawasan.
Sebagai contoh Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Pesantren tertua di Jawa
Barat ini didirikan pada tahun 1817 M.=1233 H. oleh Ki Jatira (salah
seorang murid Maulana Yusuf dan sekaligus utusan Kesultanan “Hasanuddin”
Banten). Seperti banyak dikemukakan dalam perjalanan sejarah, bahwa
seputar abad ke-17 dan 18 M., dimana pesantren mulai dirintis, kondisi
masyarakat pada umumnya masih demikian kental dengan tradisi
mistik yang kuat.[12]
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan
Islam mistik saat itu dikarenakan oleh sebab-sebab
yang berasal dari luar pesantren. Sebab-sebab dimaksud
adalah langkanya literatur keislaman di Jawa ketika itu sebagai
konsekuensi logis dari kurangnya kontak antar umat Islam di Jawa dengan
Timur Tengah, yang disebabkan oleh politik pecah belah Belanda yang tengah
berusah keras menunjang penyebaran agama Kristen di Nusantara.[13]
Pesantren dalam bentuknya semula tidak dapat disamakan dengan
lembaga pendidikan madrasah atau sekolah seperti yang dikenal sekarang
ini. Perkembangan selanjutnya menunjukkan pesantren sebagai satu-satunya
lembaga pendidikan tradisional yang tampil dan berperan sebagai pusat
penyebaran sekaligus pendalaman agama Islam bagi pemeluknya secara terarah.[14]
Abad ke-19 M. adalah abad permulaan adanya kontak umat Islam di
Indonesia dengan dunia Islam, termasuk Timur Tengah. Selain kontak
melalui jamaah haji Indonesia, juga melalui sejumlah pemuda Indonesia yang
belajar di Timur Tengah (Makkah). Mereka sebagian besar berasal dari
keluarga pesantren.[15] Di antara mereka yang sukses secara
gemilang adalah Syaikh Nawawi Tanara Banten (w. 1897 M.), Syaikh Mahfudz
al-Tirmisi (w. 1919 M.), Syaikh Ahmad Chothib Sambas (asal
Kalimantan), dan Kiai Cholil Bangkalan (w. 1924 M.= 1343 H.). Pada abad
ke-19 M. mereka adalah orang-orang yang mengisi kedudukan sebagai imam
dan pengajar di Masjid Haram Makkah al-Mukarromah.[16]
Generasi pertama itu kemudian melahirkan para santri
sebagai murid langsung, yang selanjutnya dikenal sebagai generasi kedua dalam
jajaran pelopor dan pendiri pesantren di Jawa dan Madura. Mereka
adalah KH. A. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang (1871-1947 M.=1288–1367
H.), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya), dan KH. Bisyri
Syamsuri.
Pada tahun 1899 M.=1317 H., KH. A. Hasyim Asy’ari mendirikan
Pesantren Tebuireng. Pesantren itu menawarkan panorama yang
berbeda dari pesantren-pesantren lain sebelumnya. Ia mencoba merefleksikan
hubungan berbabagai dimenasi yang mencakup ideologi, kebudayaan serta
pendidikan.[17] Pendirian
pesantren ini dipandang sebagai upaya penting komunitas pesantren karena mulai
memperlihatkan sikap pesantren menentang hegemoni penjajah.
Boleh dijuga diasumsikan motivasi politik yang ditujukan Pesantren Tebuireng adalah
manifestasi kesadaran diri dan percaya diri paling tertinggi dari kaum
pesantren.[18]
Pada wal abad ke-20 M., Pesantren Tebuireng di bawah
pimpinan KH. A. Wahid Hasyim (1916 M. = 1335 H.) berhasil
melakukan perubahan yang radikal secara kelembagaan berkenaan
dengan kurikulum pesantren. Dia memasukkan pendidikan persekolahan
(komunitas pesantren menyebutnya sistem madrasi) dengan mendirikan
Madrasah Nidzamiyah di dalam lingkungan pesantren. Di madrasah itu
diajarkan berbagai mata pelajaran yang oleh seluruh komunitas pesantren saat
itu dihukumi haram dan yang mempelajarinya divonis kafir. Mata
pelajaran yang dimaskud adalah : Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah,
Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Belanda.
Perkembangan pada masa-masa selanjutnya berhasil mencatat
pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) yang mampu melahirkan
suatu lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan
pemahaman keagamaan (Islam) yang relatif utuh dan lurus.[19] Di sisi
lain, sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memegang peranan penting
dalam penyebaran ajaran agama (Islam) prinsip dasar pendidikan dan pengajaran
pesantren adalah pendidikan rakyat. Dan, karena tujuannya
memberikan pengetahuan tentang agama, ia tidak memberikan pengetahuan
umum.[20]
B. PENDIDIKAN ISLAM ERA WALISONGO
Wali Songo dan komunitas pesantren selalu loyal pada missinya sebagai
pewaris Nabi Muhammad yang terlibat secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi
utama mereka adalah menerangkan, memperjelas, dan memecahkanpersoalan-persoalan
masyrakat, dan memberi modelidealbagi kehidupan sosial agama masyarakat.
Model Wali Songo yang diikuti oleh para ulama di kemudian hari
telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa
mereka pada kepemimpinan proaktif dan effektif. Pendekatan dan kearifan Wali
Songo kini terlembagakan dalam esesni budaya pesantren dengan
kesinambungan ideologi dan kesejarahannya.
Keberhasilan pendidikan Islam Wali Songo terhadap
pendekatan penguasa tercermin dalam menyatukan unsur pemimpin agama dan negara.
Dikotomi antara ulama dan raja, sebagaimana diteladankan oleh para pemimpin
sesudah Nabi Muhammad (Khalifah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali)
tidak mendapatkan ruang dan tempat dalam ajaran dasar Wali Songo. Ajaran
ini, sebagaimana dikemukakan Abdurrahman Wahid, adalah warisan Sunan Kalijaga
sebagai grand desinger dan kemudian dipopulerkan oleh Sultan
Agung.[21] Namun demikian seperti dikemukakan
di atas, pendidikan Wali Songo mudah ditangkap dan
dilaksanakan.
Wali Songo dan kyai Jawa adalah agent of social changer melalui
pendekatan kultural. Ide cultural resistence juga mewarnai
kehidupan intelektual pendidikan pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga
ini adalah kitab klasik yang diolah dan ditransmisikan dari satu
generasi ke generasi berikut, yang sekaligus merujuk kepada keampu-an
kepemimpinan kyai-kyai.
Isi pengajaran kitab-kitab itu menawarkan kesinambungan tradisi
yang benar mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan
pertengahan. Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren
bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan
peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran hidup yang mendambakan
kedamaian, keharmonisan dengan masyarakat, lingkungan dan bersama Tuhan.
Tujuan itu secara sederhana seperti dikemukakan Mastuhu,[22] adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau aabdi
masyarakat tetapi rasul (pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad),
mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dala kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, dan
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Karena konsep di atas pula pesantren selalu tegar
menghadapi hegemoni dari luar. Pesantren-pesantren tua
biasanya selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka berupa kesinambungan
ideologis dan historis, serta mempertahankan budaya lokal. Denominasi keagamaan
dalam pendidikan pesantren yang Syafi’i- Asy’ari-Ghazalian-Oriented terbukti
sangat mendukung terhadap pengembangan dan pelaksanaan konsep cultural
resistance.
C. Tradisi Keilmuan Pesantren
Menarik untuk disimak bahwa, mata rantai keilmuan dan pesantren
adalah bersumber dari pemahaman dan interpretasi Wasli Songo terhadap
ajaran Islam. Mereka adalah para guru tariqat sufi yang merujuk kepada
pemikiran dan doktrin kesalehan al-Ghazali (w. 450- 505 H / 1106-1111 M.).
Al-Ghazali adalah ulama dan sufi yang besar pengaruhnya. Dialah pembela
dan penyebar ajaran teologi al-Asy’ari dan fiqh al-Syafi’i. Ketika
dipercaya menjadi rektor Universitas Nidzamiyah Baghdad pada masa keemasan
peradaban Islam, dia menampakkan keberaniannya dengan tidak mengikuti pola
pemikiran sang guru yaitu Imam al-Haramaian yang, pada zamannya, dianggap lebih
mu’tazili ketimbang tokoh-tokoh mu’tazilah. Dia justru mengikuti pola-pola
al-Baqillani dan al-Asy’ari. Dialah penyebar doktrin al-Asy’ari ke
seluruh penjuru dunia, termasuk dunia belahan timur dan Nusantara. Dari
sudut pandang ini bisa dipastikan mata rantai kesejaharan, ideologis ataupun
budaya pesantren dengan tradisi intelektual dengan para ulama sufi tempo dulu
tetap terjaga, terpelihara, serta tetap lestari.
Rujukan ideal keilmuan pendidikan pesantren cukup
komprehensif meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri yang bersumber
dari al-Quran dan al-Sunnah. Kelengkapan rujukan itu kemudian dibakukan ke
dalam tiga sumber atau rujukan pokok yaitu al-Asy’ariyah untuk inti ajaran
dasar Islam bidang teologi, al-Syaf’iyah untuk bidang hukumIslam (fiqh) dan
al-Ghazaliyah untuk akhlak atau etika Islam dan tasawwuf.
Tradisi keilmuan pesantren sampai sekarang nampaknya
tidak pernah bergeser dari aspek essensinya. Dawam Rahardjo, dalam hal ini,
menaruh kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh
pendidikan di dunia Barat dan bekerja di beberapa sektor dan kantor swasta dan
negara di Indonesia.[23]
D. Pembentukan Kepribadian
Pesantren dalam perkembangannya masih tetap disebut sebagai
lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama
Islam. Pesantren dengan segala dinamikanya dipandang sebagai lembaga pusat
perubahan masyarakat melalui kegiatan dakwah islamiah, seperti tercermin dari
berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan kepribadian
individu santri, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara pengasuhnya
(kyai) dan pemrintah.
Pesantren dari sudut paedagogis tetap dikenal
sebagai lembaga pendidikan agama Islam, lembaga yang terdapat di dalamnya
proses belajar mengajar. Fungsi pesantren dengan demikian lebih banyak berbuat
untuk mendidik santri. Hal ini mengandung makna sebagai usaha membangun dan
membentuk pribadi, masyarakat dan warga negara. Pribadi yang dibentuk adalah
pribadi muslim yang harmonis, mandiri, mampu mengatur kehidupannya sendiri,
tidak bergantung kepada bantuan pihak luar, dapat mengatasi persoalan sendiri,
serta mengendalikan dan mengarahkan kehidupan dan masa depannya sendiri.
Pesantren dalam hal ini bertugas membentuk pribadi muslim yang
harmonis dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama dan lingkungan yang dimulai
dari diri sendiri, keluarga, dan tetangga dekat.
Pendidikan pesantren memiliki berbagai macam dimensi :
psikologis, filosofis, relijius, ekonomis, dan politis, sebagaimana
dimensi-dimensi pendidikan pada umumnya. Tetapi, bagi Dawam,[24] pesantren bukanlah semacam madrasah
atau sekolah, walaupun di dalam lingkungan pesantren telah banyak pula
didirikan unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus. Berbeda dengan sekolah
atau madrasah, pesantren memiliki mempunyai kepemimpinan,
cirri-cirikhusus dan semacam kepribadian yangdiwarnai karakteristik pribadi
kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren, dan bahkan aliran keagamaan tertentu yang
dianut. Pesantren memiliki juga memiliki pranata tersendiri yang memiliki
hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan tradisi
atau kultur masyarakat, khususnya yang berada dalam lingkungan pengaruhnya.
Pesantren sejak awal kelahirannya telah menjadikan
pendidikan sebagai way of life. Pembentukan kepribadian muslim
yang dilakukan oleh pesantren justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang
belajar. Hubungan, interaksi, dan pergaulan sehari-hari santri dengan kyai,
atau santri dengan sesamanya, bahkan santri dengan masyarakat di sekitar
lingkungan pesantren adalah sumber pembelajaran utama dalam rangka pembentukan
kepribadian muslim yang dicita-citakan pesantren.
Pola hubungan santri-kyai dan santri-santri sebagai
proses pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan pesantren adalah
merupakan kesinambungan dan pelestarian tradisi, budaya, serta nilai-nilai Islam
yang ditanamkan oleh Wali Songo yang memposisikan ajaran
mereka sebagai ajaran para ulama sebelumnya yang memiliki mata rantai
bersambung (istishal al-Sanad) dengan Rasulullah, Muhammad SAW.
Tujuan pendidikan pesantren bukan untuk mengerjakan kepentingan
kekuasan (powerfull), uang, dan keagungan duniawi. Tetapi, kepada para
santri ditanamkan bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah semata-mata karena
melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, mencari keridoan Allah, serta
menghilangkan kebodohan, sebagai sarana memasyaraktkan ajaran Islam di muka
bumi dalam wujud amar ma’ruf nahyu munkar.[25] Menurut
Abdurrahman Wahid, diantara cita-cita pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri
sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kecuali kepada
Tuhan.[26]
Pesantren, dengan demikian, lebih mengutamakan faktor keikhlasan
hati baik dari pihak santri dan wali santri, ataupun dari pihak kyai,
para pengajar, dan komponen pimpinan pesantren. Konsep ikhlas dalam pendidikan
pesantren merupakan konsep kerelaan hati berbuat baik dalam bentuk
apapun, tanpa mengharap imbalan atau upah dari makhluk ciptaan Tuhan. Konsep
ikhlas yang dianut oleh komunitas pesantren selama berabad-abad merupakan
warisan Wali Songo sebagai kepanjangan dari ajaran tasawwuf
al-Ghazali.
Konsep ikhlas dipandang sudah teruji sepanjang sejarah
perkembangan umat Islam Idonesia. Para santri dan alumni pesantren
yang ikhlas dalam arti sesungguhnya dinilai telah berhasil dan lulus dalam
kancah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menawarkan
janji-janji menggoda tentang kemewahan duniawi baik berupa jabatan, pangkat,
kedudukan, popularitas, uang, kekayaan bendawi, serta kepuasan-kepuasan
psikologis yang sifatnya tidak kekal.
Konsep ikhlas dalam tradisi pesantren mendorong para santri
mengejar kebahagaiaan ruhhaniah yang kekal, yaitu kedamaian dan
ketentraman, karena kedekatan dengan Tuhan sebagai bersihnya hati dan beningnya
pikiran dari ambisi mengejar kepuasaan duniaiwi.
Ikhlas merupakan pintu pertama menuju terbentuknya kepribadian
muslim yang harmonis baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Keharmonisasn
pribadi berawal dari hati yang bersih dari ketergantungan kepada selain Allah (syirik)
dan prasangka buruk (su’u dzan) kepada sesama, serta keragu-raguan dalam
bertindak. Kondisi kejiwaan inilah yang paling pertama ditanamkan sejak
santri baru memulai mengikuti pembelajaran di dalam lingkungan pendidikan
pesantren.
Sejarah mencatat, akibat keberhasilan pendidikan pesantren dalam
menanamkan keikhlasan kepada para santrinya telah banyak memberikan kontribusi
kepada bangsa dan negara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Beberapa
pesantren tua seperti dikemukakan di atas telah berhasil memberikan teladan
dengan melakukan konfrontasi secara fisik dengan penjajah. Hal ini dapat
dicermati juga melalui letak geografis beberapa pesantren di tanah Jawa
yang sejak semula nyata-nyata menampakkan perlawanan dengan sentra-sentra
kekuatan dan ekonomi penjajahan Belanda di Indonesia. Zamakhsyari Dzofir
mencatat bahwa Pesantren Tebuireng Jombang (Jawa Timur) letaknya
tepat berhadapan dengan salah satu pabrik gula terbesar yang terletak di
Desa Cukir Jombang. Fenomena ini menunjukkan bahwa sejak semula pesantren
telah menyatakan konfrontasi dengan kemajuan teknologi Barat yang secara
langsug mempengaruhi pola fikir dan prilaku santri waktu itu.[27]
Di wilayah Jabawa Barat terdapat pesantren tua yang terletak di
Desa Babakan Kecamatan Ciwaringin Cirebon. Pesantren ini berdiri sejak tahun
1817. Ketika terjadi Perang Diponegoro di Jawa tengah (1825-1830), yang
dipimpin oleh Syaykh Abdurrahim putra Amangkurat III dari hasil
pernikahan dengan seorang putri Kyai dari Desa Tingkir, Ki Jatira (kyai
yang sebenarnya putra Banten dan utusan kesultanan Mawlana Hasasnuddin Banten)
dan para santri pesantren itu tengah berjuang keras melawan Belanda yang
bermarkas di Gunung Jaran Desa Gempol Kecamatan Ciwaringin. Pesantren Dar
al-Tauhid Arjawinangun Cirebon (didirikan KH. Ahmad Syathori) adalah salah satu
pesantren di wilayah kawedanan Arjawinangun yang sebagian bangunan fisiknya
mempergunakan tanah bekas pabrik gula yang dibangun Belanda (regendom).
KH. Ahmad Syathori termasuk salah seorang santri KH. Jawhar ‘Arifin Balerante
yang tergolong kirtis. Dia juga belajar hadits/ilmu hadits dan fiqih Maliki
kepada Syakykh Muhammad ‘Alawiy al-Malikiy di Madinah. Semasa penjajahan
Belanda dan pendudukan Jepang, sang kyai ini kerapkali keluar masuk penjara
karena perlawananya terhadap kekuasaan kolonial.
Beberapa pesantren lain yang juga memposisikan diri
berkonforntasi dengan kekuatan penjajah misalnya: Pesantren Kempek Ciwaringin
(didirikan oleh K. Harun), Pesantren Balerante Palimanan (didirikan seorang
putr bangsawan bernama Cholil), Pesantren Sukun Sari Plered (Weru Kidul),
Buntet Pesantren di Mertapada Wetan Kecamatan Astajanapura, dan Pesantren
Gedongan Desa Ender Astanajapura. Letak geografis semua pesantren
tersebut mendekati pabrik gula yang pada masa itu
merupakan pusat perkonomian Belanda yang dijadikan tumpuan eksploitasi kekuatan
infrastruktur rakyat Indonesia.
E. SIMPULAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia tumbuh dan berkembang dalam proses sejarah yang panjang.
Kehadirannya bersamaan dengan aktivitas penyebaran Islam di Jawa yang dibawa
oleh para wali (Wali Songo). Pesantren pada zaman Wali
Songo, pemerintahan Demak, dan pemerintahan Sultan Agung Mataram
dari aspek kurikulumnya masih sama dan belum mengalami perubahan dari tujuan
dasar ajaran Tariqat Shufi dan Tasawwuf al-Ghazali.
Perkembangan sebelum abad 19 Masehi menujukkan eksistensi pesantren
tariqat baik di tanah Jawa maupun di Aceh. Kurikulum pendidikan
pesantren mulai mengalami perubahan setelah generasi awal ulama-ulama Nusantara
berkesempatan memperdalam ajaran Islam di Timur Tengah, khususnya Makkah al-Mukarromah.
Kontak budaya dengan dunia Islam pada umumnya, juga mulai
terbuka pada abad itu. Generasi awal yang mempunyai santri atau murid langsung
boleh berbangga hati karena ternyata sang murid dapat menggoreskan tinta
emas ke dalam catatan sejarah perkembangan pendidikan pesantren. KH.
A. Hasyim Asy’ari dipandang sebagai tokoh pertama yang melakukan pemabahruan di
dalam dunia pesantren.
Pada masanya, pesantren mulai memperkenalkan ilmu-ilmu keislaman
dari sumber rujukan primer. Sehingga, pesantren memiliki tipologi baru
yang berbeda dengan sebelumnya. Kalau sebelum Hasyim Asy’ari pesantren hanya
berorientasi kepada pengajaran tariqat, maka Pesantren Tebuireng
yang didirikannya berhasil mempelopori pesantren syari’at dengan
memperkenalkan kajian berbagai keilmuan islam seperti Ilmu Tafsir dan Ilmu
Hadits, dua ilmu pokok untuk memahami al-Quran dan Sunnah Rasul.
Hal layak yang dapat digaris bawahi adalah bahwa, perjalanan
panjang dan perubahan umat Islam Indonesia yang dinamis tidak pernah dapat
menggeser tradisi keilmuan dan nilai-nilai kesalehan pesantren, yang diwariskan
oleh ulama sebelumnya. Tradisi keilmuan dan Konsep kesalehan pesantren tetap
memiliki kesinambungan mata rantai dengan: ajaran Islam Wali
Songo, Tariqat Sufi, Imam al-Ghazali, Teologi al-Asy’ari, Fiqih
al-Syafi’i, sampai kepada Rasulullah, Muhammad SAW.
Konsep ikhlas sebagai pembentukan pribadi santri adalah konsep
yang bersumber dari ajaran tasawwuf Wali Songo yang tetap
dilestarikan sampai dengan sekarang. Komunitas pesantren meyakini keikhlasan
tetap menjadi fondasi utama dalam mengantarkan para santri mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat, baik sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, dan
warga negara. Karenanya, konsep ikhlas, yang terbukti telah teruji dan lulus
dalam proses seleksi interaksi sosial dari zaman ke zaman, tidak perlu
digantikan. Dalam hal ini pendidikan pesantren mesti mengukuhkan norma المحافظة بالقديم الصالح والأخذ بالجدديد الأصلح (Sutejo ibn Pakar). والله أعلم بالصواب
[2] Abdurrahman
Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam, Ismail Huda SM, ed., Dinamika
Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 3.
[3] Kafrawi, Pembaharuan
SistimPendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan
Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Cemara Indah, 1978), h. 17.
[4] Abdurrahman
Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta : Dharma Bhakti, 1399
H.), h. 52.
[5] Marwan
Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren (Jakarta : Dharma Bhakti,
1982), h. 25.
[6] Abu Bakar
Atjeh, seperti dinukil Marwan, melukiskan bahwa pesantren Giri Kedaton
sebagai pesantren yang termasyhur di wilayah Jawa Timur. Para santri yang
datang untuk belajar di sana berasal dari daerah yang sangat beragam seperti :
Madura, Lombok, Bima, Makasar, dan Ternate (Halmahera), selain daeri
daerah-daerah di Jawa Timur sendiri. Sampai dengan abad ke-17 M. pesantren ini
masih tetapharum dan didatangi oleh para santri untuk menimba ilmu agama Islam
di sana. (Marwan Saridjo, h. 25).
[7] Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Dharma
Bhakti, 1982), h. 257.
[8] Marwan
Saridjo Op. Cit., h. 27.
[9] Mahmud
Yunus, Op. Cit., h. h. 257.
[10] Lihat Ensiklopedi
Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1993).
[11] Abdurrahman
Saleh, dkk., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren (Jakarta
: Binbaga Islam, 1982), h. 6.
[12] Abu
Bakar & Shohib Salam, “ Pesantren Babakan Memangku Tradisi dalam Abad
Modern “, dalam, Agus Sufihat, dkk., Aksi-Refleksi Khidmah
NahdhatulUlama 65 Tahun (Bandung : PW NU Jawa Barat, 1991), h. 44.
[13] M.
Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta : Bulan
Bintang, 1969), h. 21.
[14] Slamet
Effendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak dan
Pergolakan internal NU (Jakarta : Rajawali, 1983), h. 4.
[15] Ibid., h.
4.
[16] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta : LP3ES, 1982), h. 85
[17] Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung :
Remaja Rosda Karya, 1992), h. 194.
[18] Abdurrahman
Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, h. 20.
[19] Slamet, Op.
Cit., h. 4.
[20] Djumhur,
I, Sejarah Pendidikan (Bandung : CV Ilmu, 1976, cetakan ke-6),
h. 111-112.
[21] Abdurrahman
Wahid, “Principles of Pesantren Educatuon”, dalam, Manfred Oepen and
Wolfgang Karcher (Ed.,), the Impact of Pesantren (Jakarta :
P3M, 1988), h. 198.
[22] Mastuhu, Op.
Cit., h. 55-56.
[23] Dawam
Rahardjo, Pesantren dan Pemebaharuan (Jakarta : LP3ES, 1988),
h. 7.
[24] Ibid.., h.
27.
[25] al-Jurjani, Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’limwa al-Ta’allum, h. 3.
[26] Abdurrahman
Wahid, Op. Cit., h. 42.
[27] Zamakhsyari
Dzofir, Tradisi Pesantren (Jakarta : LP3S, 1985), h. 101.