ISLAM DI CIREBON

ISLAM DI CIREBON
SUTEJA
Hampir seluruh catatan sejarah, menurut Muhaimin, selalu menghubungkan Cirebon dengan perkembangan Islam di Jawa, khususnya di Jawa Barat. Lahirnya kerajaan Islam di abad 15-16 menunjukkan arti penting Islam di Cirebon pada awal perkembangan Islam. Pendiri kerajaan Islam di Cirebon, yaitu Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) adalah salah satu tokoh Walisongo.[13] Pada tahap awal itu, Cirebon adalah bagian yang tidak terpisahkan dari jaringan penyebaran Islam di Jawa.[14]
G.F. Pijper, dalam tulisannya, menyatakan Cirebon adalah daerah pesantren, kyai-kyai mempunyai pengaruh di kalangan rakyat hingga sekarang. Kehidupan keagamaan masih bersifat tradisional.[15] Di sini ulama aliran kolot mempunyai pengaruh besar di kalangan rakyat. Mereka itu guru-guru yang memberi pelajaran kepada para santri tentang ilmu fikih, ilmu tauhid atau ushuluddin, dan ilmu agama lainnya. Mereka adalah pemimpin agama yang sangat dihormati, disegani dan merupakan penasihat rakyat.[16]

empat tingkatan  kematian, yaitu mati abang, mati putih, mati ijo, dan mati ireng.[23]Mati abang artinya mampu melawan seluruh keinginan nafsu dan tidak memiliki keinginan apapun selain Allah. Mati putih artinya berani menahan lapar. Mati ijo artinya sanggup meninggalkan kemewahan duniawi, kedudukan dan popularitas. Sedangkan yang dimaksud mati ireng adalah kesanggupan menahan diri dari segala caci maki dan celaan manusia. Seseorang yang telah sampai tahapan ma’rifah ini, menurut al-Ghazali, merasa yakin bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa memberi faidah maupun bahaya kecuali Allah. [24]

Ukuran keberhasilan pembelajaran pendidikan pesantren adalah kesalehan individual para santri (peserta belajar). Kesalehan individual yang dimaksud komunitas pesantren adalah perilaku-perilaku khas (akhlaq al-Karimah) masyarakat pesantren  yang lebih mengarah kepada pembinaan poptensi dan kualitas kepribadian santri dan belum mengarah kepada perialku sosial para santri. Misalnya akhlak : jujur dalam berkata, ikhlas dalam beramal, tawadhu’ dalam bersikap dan berperilaku, sabar dalam menghadapi cobaan hidup, tawakal (dalam arti menyerahkan sepenuhnya segala ketentuan hidup hanya kepada Allah) dan  qona’ah (dalam menerima segala ketentuan, nasib dan ketentuan Allah, terutama mengenai ma’isyah duniawiah).
Di zaman sekarang ini, masyarakat sebagai konsumen  dan sekaligus penilai kesalehan alumni pendidikan pesantren mendambakan dari santri dan alumni pendidikan pesantren  lebih dari sekadar kesalehan individual.  Faktor lingkungan belajar santri yang sangat dinamis dan berpengaruh  secara kuat terhadap tatanan nilai yang selama ini dianut oleh Pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah Desa Karangsari Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon adalah tidak bisa diabaikan begitu saja tanpa diantisipasi  dan disikapi secara cermat dan tepat. Masalah yang muncul kemudian adalah terkait dengan kemungkin keberhasilan dan ketercapaian tujuan Pesantren dalam mewariskan nilai-nilai ajaran ulama sufi.
Permasalahannya kemudian adalah terkait dengan relevansi antara tujuan pembelajaran sistem pendidikan di Pondok Pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah Desa Karangsari Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon dalam mencetak santri-santri yang memiliki kualitas kesalehan individual dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap alumni pesantren.  Dan, ketercapaian tujuan pewarisan nilai-nilai ajaran ulama sufi  yang telah menjadi tradisi ataupun mainstarim pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah.
 
Pendidikan pesantren memiliki berbagai macam dimensi : psikologis, filosofis, relijius, ekonomis, dan politis, sebagaimana dimensi-dimensi pendidikan pada umumnya.  Tetapi, bagi Dawam,[26] pesantren bukanlah semacam madrasah atau sekolah, walaupun di dalam lingkungan pesantren telah banyak pula didirikan unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus. Berbeda dengan sekolah atau madrasah, pesantren memiliki  mempunyai kepemimpinan, ciri-ciri khusus dan semacam kepribadian yang diwarnai karakteristik pribadi kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren, dan bahkan aliran keagamaan tertentu yang dianut.
Teks-teks kitab yang telah dipelajari oleh santri adalah warisan intelektual generasi ulama abad pertengahan yang sampai ke tangan para wali sanga, dan seterusnya kepada kyai-kyai pesantren. Mereka para santri  dituntut untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya sehingga kitab-kitab itu merupakan himpunan kodifikasi tata nilai yang dianut oleh masyarakat pesantren. Wali Sanga dan kyai Jawa adalah agent of social changer melalui pendekatan kultural. Ide cultural resistence juga mewarnai kehidupan intelektual pendidikan pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini adalah kitab klasik  yang   diolah dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikut, yang sekaligus merujuk kepada  ke-ampu-an kepemimpinan kyai-kyai.
Pemberian pengajian oleh kyai kepada santrinya bisa merupakan proses pembentukan tata nilai Islam yang terwujud dalam tingkah laku sehari-hari mulai dari cara-cara melakukan ibadah ritual sampai kepada ketentuan-ketentuan tata pergaulan masyarakat. Dan, kyai dalam hal ini merupakan personifikasi utuh dari sistem tata nilai itu yang juga turut melengkapi kedudukan kitab tersebut. Inilah kemudian yang disebut pola kehidupan santri.[27]
Isi pengajaran kitab-kitab itu menawarkan kesinambungan tradisi yang benar mempertahankan ilmu-ilmu agama dari sejak periode klasik dan pertengahan.  Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam masa lalu, tapi juga menunjukkan peran hidup yang mendambakan kedamaian, keharmonisan dengan masyarakat, lingkungan dan bersama  Tuhan.
Nuruddaroin memposisikan aspek batiniah pada posisi paling tinggi dan harus diprioritaskan. Penghayatan terhadap ajaran agama disampaikannya dengan bahasa yang tidak mudah dimengerti, karena merupakan pengalaman ruhaniah yang bersifat subjektif.Tujuan hidup Nuruddaroin adalah mencapai maqâm mukâsyafah. Dia, menurut pengakuannya, dapat mengetahui Allah secara langsung dengan rohnya, karena diyakini rohnya benar-benar suci. [28]
Pemahaman semacam ini, jelas-jelas mencerminkan tujuan umum pembelajaran aliran-aliran kebatinan yang ada dan hidup di Nusantara. Tujuan umum yang dimaksud adalah kehidupan duniawi yang damai dan kehidupan ukhrawi yang indah yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan. Dalam tataran kehidupan praktis, aliran ini tentu lebih menekankan unsur batin atau kejiwaan yang berpangkal pada ruhaniah manusia.[29]
Tinjauan kependidikan memandang manusia sebagai makhluk sempurna karena  terdiri dari kesatuan yang utuh antara aspek-aspek:  fisik/jasmani, intelektual, mental spiritual, dan ruhani. Pendidikan bertugas  membantu kedewasaan peserta didik dalam wujud keseimbangan atau keharmonisan antara berbagai aspek kepribadian tersebut.
Proses pembelajaran atau transformasi nilai ajaran tasawwuf Bayt 12 Mohammad Nurudaroin dapat diasumsikan sebagai bentuk pembelajaran yang mengutamakan aspek “batiniah”  dan cenderung mengabaikan pembinaan aspek fisik dan aspek intelektual secara imbang. Dipandang dari sudut sasaran pembelajarannya, proses transformasi nilai di Pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah terlihat mengabaikan pendidikan ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan pendidikan kebangsaan.
Manakala, proses pembelajaran di Pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah tetap bertahan dengan cita-cita dan semangat generasi terdahulu dan tidak berhasil melakukan modifikasi kreatif, dipastikan pesantren ini tidak mampu memberikan sumbangan konkrit bagi masyarakat sebagai konsumen dari produk pendidikannya. Alumni pendidikan pesantren tersebut, dipastikan tidak dapat memberikan  sumbangan yang konstruktif bagi masyarakat dan bangsanya yang sangat membutuhkan para santri dan alumni pondok pesantren yang saleh secara sosial, selain saleh secara indvidual.

[1] Abdurrahman Saleh, dkk.,  Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren (Jakarta : Binbaga Islam, 1982), h. 6.
[2] Abu Bakar & Shohib Salam, “ Pesantren Babakan Memangku Tradisi dalam Abad Modern “, dalam, Agus Sufihat, dkk., Aksi-Refleksi Khidmah NahdhatulUlama 65 Tahun (Bandung : PW NU Jawa Barat, 1991), h. 44.
[3] M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (Jakarta : Bulan Bintang, 1969), h. 21.
[4] Slamet  Effendy Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri Menelusuri Jejak dan Pergolakan internal NU (Jakarta : Rajawali, 1983), h. 4.
[5] Ibid.h. 4.
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta : LP3ES, 1982), h. 85
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1992), h. 194.
[8] Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren, h. 20.
[9] Slamet, Op. Cit., h. 4.
[10] Djumhur, I, Sejarah Pendidikan (Bandung : CV Ilmu, 1976, cetakan ke-6), h. 111-112.
[11] AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Jakarta : Logos,  2002), h. 24.
[12] John, A.H., Islam in Southeast Asia: Problems of Perspective”, dalam, Ibrahim, A. Shiddique, S. dan Husein Y., Reading On Islam ini South East Asia, (Siangapore : ISEAS, 1985), h. 21.
[13] Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta : Logos, 2002), h. 8.
[14] Ibid., h. 9.
[15] Pijper, G.F., Fragmenta Islam Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Tudjimah, (Jakarta : UI Press, 1987), h. 80.
[16] Ibid., h. 81.
[17] Ibid., h. 89.
[18] Wawancara dengan Wagimin Nurullah, Cirebon , 4 Januari 2006.
[19] Wawancana, 14  Januari 2006 di Pendopo di Lingkungan Pesantren Mukasyafah ‘Arifin Billah. Secara bahasa, bayt berarti rumah. Wagimin menjelaskan bahwa di dalam rumah tersebut terdapat kamar-kamar yang masing-masing memiliki isi tersendiri. Sedangkan yang dimaksud Bait 12 ini adalah 12 ajaran tasawuf yang merupakan rumusan yang dihasilkan oleh Nuruddaroin.
[20] Wawancara dengan Wagimin Nurullah, Cirebon,    6 Januari 2006.
[21] Surahardjo, Mistisisme, )Jakarta:  Pradnya Paramita, 1983(, h. 24.
[22] Musyâhadah adalah tahapan ketiga dalam tahapan-tahapan tauhid sebagai berikut (1) tahapanan iman secara lisan, (2) tahapan pembenaran atau tashdîq, (3) tahapan Musyâhadah/mukâsyafah/ma’rifah, dan (4)  tahapan fanâ``. Al-Ghazali, Ihyâ`  ’Ulûm al-Dîn, h. 223.
[23] Yayasan Pendidikan Arifin Billah, Riwayat Hidup H. Muhammad Nuruddaroin op. cit., h. 12.
[24] al-Ghazali, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Juz I (Surabaya: Salim Nabhan wa Awladih, t.th.), h. 230.
[25] Muhammad Nur al-Darayn bin al-Syaykh al-Hajj Muhammad Ya’qub al-Syirbani, Bayt 12 min al-‘Ilm al-Mukâsyafah wa al-Ilhâm min ‘ind Allâh, tahqiq  Muhammad Mahfudz bin Muhammad Sanwani,  (Jember : t.p., t.th.),    h. 20.
[26] Ibid.., h. 27.
[27] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 36.
[28] Wawancara dengan Wagimin Nurullah, Cirebon,  Kamis  6 Januari 2005.
[29] Surahardjo, Mistisisme, )Jakarta:  Pradnya Paramita, 1983(, h. 24.


Postingan populer dari blog ini

DZIKIR/WIRID TAREKAT TIJANIYAH

RADEN MUTA’AD (1785-1842 M)

TAHLILAN DAN HADIYUWAN