PINTU MEMASUKI TAREKAT
Tazkiyyat al-Nafs
PINTU MEMASUKI TAREKAT
sutejo ibnu pakar
Bertarekat adalah berpegang teguh
kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Manhaj tarekat para sufi adalah al-Kitab dan
al-Sunah, dan setiap yang berlawanan dan atau tidak sesuai dengan keduanya
adalah bukan tarekat. Mata rantai tarekat bersandarkan kepada Rasulullah SAW
dari generasi ke generasi (wiratsah). Ruh, darah dan daging tarekat
tidak terpisahkan dari kedua sumber tersebut. Tarekat bukan ilmu retorika atau
pengetahuan tentang hokum-hukum legal formal. Ia berkaitan langsung dengan
persoalan hati dan jiwa manusia. Ia laksana agama dan karenanya menuntut
kehati-hatianepada siapa anda berguru.
Tasawuf memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan madzhab salaf
dalam hal ibadah.[1] Sholat, zakat, puasa dan haji adalah ibadah bagi orang awam. Sementara
ibadah kaum sufi adalah penyucian jiwa (tazkiyyat al-Nafs) dan bertujuan untuk
menghubungkan hati dan bertemu secara langsung (musyahadah) dengan Allah
SWT dan fana’ dengan bantuan Nabi Muhammad SAW.
Para sufi mengklaim diri mereka sebagai
kelompok muslim elit karena merasa diri
memiliki ahwal dan jiwa yang
bersih dan memahami cara-cara penyucian jiwa.[2] Tazkiyyat al-nafs sebagai metode sufi adalah berbeda dengan
metode ulama salaf al-Shalih dalam tiga hal. Pertama, ulama salaf
melakukan penyucian jiwa dengan cara memperkuat akidah islamiah yang bersih (tawhidullah)
dan memenuhi hati dengan seluruh nama dan sifat Allah. Kedua, penyucian
jiwa harus dibarengi dengan menjalankan kewajiban-kewajiban syar’i dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh syariat. Ketiga, penyucian
jiwa harus dibarengi dengan melaksanakan ibadah yang bersifat sunah (nawafil).[3] Sementara sufi (pertama) lebih menekankan kepada aspek imajinatif yakni
menyangka jiwanya telah bersih. Kedua, para sufi menyangka jiwanya telah
bersih dengan cara terlalu membebani diri dengan berbagai macam ibadah ritual. Ketiga,
para sufi menyangka jiwanya telah bersih manakala mampu melakukan
kebiasaan-kebiasaan para pertapa atau
pendeta (rahib) yakni tidak melakukan pernikahan (hubungan suami istri
yang sah dan halal).[4] Tazkiyyat al-nafs bagi
sufi bertujuan untuk mempermudah proses wushul,
ma’rifat Allah, kasyf, dan musyahadah.[5]
Kasyf, dalam epistemologi sufi,
merupakan rujukan utama dalam proses pembelajaran dan perolehan sejumlah ilmu (knowlegde,
al-‘Ulum) dan pengetahuan (science, al-Ma’arif). Bahkan dijadikan
tujuan tertinggi dari peribadatan mereka.[6] Komunitas sufi meyakini kasyf
dapat diperoleh dengan perantaraan pertemuan dengan Nabi Muhammad SAW atau
perjumpaan dengan Khidhr as., seperti
mendapatkan wiridan dan bacaan-bacaan dzikr, baik dalam keadaan terjaga ataupun
dalam mimpi. Kasyf juga dapat
diperoleh melalui ilham langsung dari Allah SAW, karena para wali di
mata sufi adalah umat Muhammad SAW yang memperoleh bimbingan langsung dari
Allah sebagaimana para nabi dan rasul Allah. Sufi meyakini bahwa pembelajaran
dapat diperoleh dengan melalui firasat, bisikan (hawatif), mimpi
(ru’yat) dan bahkan isra’-mi’raj.
Tazkiyyat al-Nafs, dalam tradisi al-Naqsyabandiyah, adalah
mensucikan diri dengan berbagai keutamaan dan perilaku bagus, menjalankan
akhlak terpuji seperti sabar, qona’ah, zuhud, gemar belajar, mencintai
kebersihan, menghormati kaum dewasa, menyayangi kaum muda, orang lemah dan
orang-orang sakit, serta menyantuni semua makhluk Allah. Termasuk tazkiyyat al-Nafs,
adalah bersikap rendah hati, tidak berpenampilan over dalam pergaulan sehari-hari, mendoakan orang
yang bersin, menyebarkan salam, memperlihatkan mimik muka yang ramah,
mengunjungi orang yang sedang tertimpa musibah, mencintai keadilan, dan
lain-lain.[7]