DIKHOTOMI FIKIH-TASAWUF
DIKHOTOMI FIKIH-TASAWUF
suteja
Selama
abad pertama hijriah tasawuf belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mandiri. Abad ketiga hijriah dapat diklaim sebagai awal dari adanya kesadaran
untuk merumuskan epistema tasawuf Islam sebagai bagian dari upaya
identifikasi tasawuf Islam dengan perilaku keagamaan yang senada. Klaim ini
dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul
nama-nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal
al-Muhasibi (w. 243 H), al-Kharraz (w. 277 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H) dan al-Junayd (w. 297 H).(
al-Taftâzânî, 1991, hal. 95). Upaya perumusan epistema ini menjadikan
tasawuf tidak lagi identik sebagai pengejawantahan sikap keberagamaan, namun
beralih menjadi sebuah disiplin ilmu yang memuat sejumlah teori dan banyaknya
terma-terma sufistik yang berserakan. Tasawuf yang sebelumnya punya
kecenderungan elastis, tidak berbenturan
dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus keagamaan lainnya seperti
tafsir, tetapi dalam abad III H. (masa
kematangan tasawuf) justru terkesan kaku dan mengambil jarak yang ironisnya
diakibatkan oleh kemandirian tasawuf itu sendiri.
Perkembangan
yang sangat jelas dari kekakuan tasawuf dalam masa ini adalah
terjadinya perbedaan yang realatif signifikan dengan fikih. Obyek kajian
tasawuf, metode dan sistematika, serta tujuannya yang semula terkaiterat dengan
fikih mulai terpisah-terpisah. Fikih oleh kalangan tasawuf hanya dilokalisir
dalam ruang sempit dengan adanya labelisasi terhadapnya sebagai `ilm
al-Dzahir. Sementara tasawuf dipersepsikan sebagai `ilm al-Bathin
yang merepresentasikan pengalaman intuisi.
Pengorbanan besar yang harus
dibayar akibat kemandirian tasawuf bukan hanya sekedar keengganannya dipasung
oleh kaidah-kiadah fikih. Tasawuf
seolah-olah mengesankan dirinya sebagai satu kajian yang kebal hukum (?). Akibat dari
fenomena ini, paradigma tasawuf
yang berkembang tidak lagi tunggal. Muncul satu paradigma yang moderat dengan
mencoba melakukan kompromi antara dimensi esoteris dengan eksoteris,
mempertemukan ranah metafisika dengan ranah rasional atau fisika. Sementara di
kalangan lain, berkembang paradigma syadz
yang mencoba menggambarkan relasi Tuhan dengan manusia sehingga memunculkan
ungkapan-ungkapan syathahat dan konsepsi-konsepsi aneh semodel al-Ittihad dan al-Hulul.
Dalam kelompok teosof yang meyakini idealitas paradigma
pertama terdapat nama-nama besar seperti Ma`ruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu
Sulayman al-Darani (w. 215 H) dan Dzu al-Nun al-Mishriy (w. 245 H). Dari
nama-nama tenar inilah terlahir sebuah rumusan ideal tentang tasawuf
Islam. Rumusan yang juga didengungkan
oleh al-Harits ibn Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Bagi mereka, tasawuf haruslah
terbangun atas nilai-nilai normatif (syari`ah). Pemahaman yang demikian membuat
entitas tasawuf dalam benak mereka adalah ma`rifah, zuhd dan
perhatian yang mendalam terhadap akhlak manusia (metode introspeksi, manhaj
al-Istibthan) sebagai cermin dari kepribadiannya. Karena enggan terlepas
jangkauan dimensi normatif, pemaknaan terhadap terma al-Fana’' menurut
kalangan ini juga harus tunduk kepada otoritas syari`ah. Asumsi ini
mengandaikan bahwa al-Fana’ merupakan satu fase di mana manusia mampu
terlepas otoritas manapun dan hanya menyisakan indoktrinasi Allah semata.
Definisi terma al-Fana’ beserta konsepsi-konsepsi tasawuf menjadi demikian
matang dan bahkan terkesan semakin kompleks saat berada dalam sentuhan
al-Junayd (w. 297 H), sekalipun merupakan penganut taat madzhab fiqh Abu Tsawr.
Diskursus mendalam terhadap term al-Fana’ inilah yang memicu kentalnya
nuansa-nuansa syathahat. Maraknya syathahat ternyata mampu
mencuatkan kontroversi dan menjadi penyebab munculnya tuduhan atau stigma bahwa
fase al-Fana’ merupakan fase yang sangat rentan mengantarkan pelaku
tasawuf dalam klaim inkarnasi (hulul) dan al-Ittihad yang
menjadikannya menabrak rambu-rambu syari`ah, seperti tuduhan Ibn Taymiah. Apa yang dituduhkan Ibn Taymiah bahwa ada
korelasi yang erat antara inkarnasi dan al-Ittihad dengan al-Fana’
akan semakin jelas dan nampak dalam pribadi semodel Thayfur ibn Isa ibn
Sarusyan atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yazid al-Busthami (w. 361 H).
Semasa dalam fase al-Fana’, Abu Yazid al-Busthami melontarkan ucapan syathahatnya : " Inni Ana
Allah La Ilaha illa Ana Fa`budni".
Dalam benak Ibn Taymiah, fase al-Fana’-nya al-Busthami adalah fase yang
gagal dengan menganggapnya sebagai sebuah perilaku sufistik yang tidak layak
untuk diikuti karena mengesankan al-Ittihad. Tuduhan yang lebih menyakitkan
mengatakan bahwa pernyataan al-Busthami ketika sedang berada dalam
puncak ekstase sesungguhnya merupakan gejala awal dari kemunculan terma wihdat
al-Wujud (pantheism).
Tetapi analisa yang berbeda diketengahkan oleh
al-Taftazani. Baginya, syathahat yang terlontar dari al-Busthami sama
sekali tidak mewakili madzhab pantheism sebab aliran ini mulai
dikenal pada masa Ibn `Arabi (w. 638 H). Al-Taftazani menegaskan bahwa syathahat-nya
al-Busthami tidak lain dan tidak bukan adalah pengalaman olah kebatinannya atau refleksi pengalaman spiritualnya yang dapat ditemui dalam setiap
pribadi-pribadi teosof muslim moderat dan tidak dimaksudkan sebagai upaya
melakukan konfrontasi dengan hegemoni syari’ah/fikih. Penilaian ini
nampaknya hanya semacam pengulangan dari apa yang telah disampaikan oleh
’Abd. al-Qadir al-Jaylani walau dalam
bahasa yang sedikit berbeda. Bagi
kalangan lain fenomena syathahiyât
yang tertangkap dalam pribadi al-Busthami adalah gambaran dari kebelum
sempurnaan fase al-Fana’ al-Busthami.
Imbas intens-nya
diskursus al-Fana’ adalah munculnya sebuah terma asing yang
menggoyahkan wilayah eksoteris. Terma dimaksud adalah al-Hulul yang pada akhirnya
mengantarkan Abu al-Mughits al-Husayn ibn Manshur ibn Muhammad al-Baydhawi atau
lebih dikenal dengan julukan al-Hallaj . (301 H) kepada altar eksekusi.
Tubuhnya disalib, tangan dan kakinya dipotong, lehernya ditebas dan bagian
tubuh lainnya dibakar dan dilempar ke dalam Sungai Dajlah. Pada dasarnya, apa
yang menimpa al-Hallaj merupakan kasus serupa yang menimpa al-Busthami.
Kedua-duanya sama-sama memperoleh ekstase dan menikmatinya serta
tenggelam dalam al-Fana’ dengan kesungguhan hati dan segenap perasaan
sehingga terlahir dari alam bawah sadar mereka syathahat yang
mengagetkan alam sadar para fuqaha'. Perbedaan fase al-Fana’ di
antara keduanya mungkin hanya terletak pada tataran kualitasnya saja.
Sebagai figur yang secara geneologis berdarah Persia dan
awalnya adalah pemeluk agama Majusi, al-Hallaj disebut banyak terpengaruh kuat
oleh budaya-budaya lain seperti filsafat Hellenistik yang begitu
dominan, pandangan hidup bangsa Persia dan kaum Syi`ah serta dogma-dogma
Kristen. Akibat dari adanya keluasan wawasan, menjadikannya tergerak untuk
mencoba menyelaraskan ajaran Islam dengan filsafat Yunani yang diwujudkan dalam
olah spiritualnya. Dalam hal ini, kalau memang benar anggapan orientalias, bahwa
al-Hallaj telah mendahului al-Ghazali dalam usahanya mempertemukan
filsafat dengan agama (Islam). Dengan mendalam dan detail, al-Hallaj saat
berada dalam fase al-Fana’ mencoba mendeskripsikan relasi manusia dengan
Tuhannya. Dengan tanpa sadar, dia menyatakan, sebagai bentuk deskripsinya, bahwa Tuhan telah berinkarnasi
(tanasaukh, al-Hulul, menitis) dalam dirinya yang tertangkap dari
pernyataannya, " Ana al-Haqq". Namun, tak jarang, dia meng-counter
pendapatnya sendiri dengan menegasikan konsep inkarnasi dan meyakininya
sebagai satu hal yang paradoks dengan syari`ah.
Berangkat dari
inkonsistensi konsep
inkarnasinya, banyak kalangan menilai
bahwa inkarnasi yang ditawarkan
al-Hallaj bukanlah inkarnasi dalam pengertian yang sesungguhnya, melainkan
sebagai keniscayaan dari fase al-Fana’. Penilaian yang juga disampaikan
oleh al-Taftazani dan membuatnya gagal dalam memandang tasawuf Islam sebagai
sebuah gugusan epistemolgi, namun hanya menampilkannya dalam wajah
historis yang kental.
2. Unsur Filsafat dalam Tasawuf Islam
Perjalanan tasawuf dalam sejarah Islam klasik pada
akhirnya memang ditakdirkan harus bersinggungan dengan filsafat Yunani yang
tengah menghegemoni. Tasawuf mulai tercemar nilai-nilai filsafat sebagaimana
tercium dari kerancuan konsep inkarnasi al-Hallaj. Fenomena ini, bagi penulis,
karena melihat bahwa persinggungan di antara keduanya menjadikan kebudayaan
Islam perlahan-lahan menyesuaikan ritme yang sedang dimainkan kebudayaan Yunani
yang terwakili oleh filsafatnya. Betatapun, kebudayaan Islam merasa inferior
ketika berhadapan dengan superioritas filasafat Yunani. Dunia Islam harus
melahirkan disiplin ilmu kalam demi mereduksi serangan gencar filsafat yang
diletupkan oleh kaum Mu`tazilah.
Melihat realitas yang mulai lari dari konsep awal tasawuf
yang meyakini bahwa al-insan al-kamil adalah Nabi Muhammad SAW, bukan
mengadapsi konsepsi-konsepsi lain di luar Islam, maka banyak tokoh-tokoh teosof
muslim yang mencoba mengembalikan tasawuf agar tetap konsisten dengan blue
print-nya.
Tercatat nama-nama yang familiar semisal al-Qusyairi dan
al-Harawiy yang berjasa mengatur kendali tasawuf yang hampir lepas kendali.
Al-Qusyairi yang bernama asli `Abdul Karim ibn Hawzan (465 H) sebagai figur
yang kapabilitasnya dalam penguasaan fikih dan ushul fikihnya tidak diragukan
lagi merasa perlu untuk merumuskan ulang epistemologi tasawuf yang telah
tercabik-cabik. Dalam buku monumentalnya, Risalah al-Qusyairiah, al-Qusyairi
berupaya menyajikan fakta bahwa tasawuf Islam telah mengalami disorientasi, juga
melakukan kritik-kritik frontal kepada dunia tasawuf. Kritikan inilah yang
nantinya sebagai cikal bakal terlahirnya satu madzhab tasawuf yang bernama
al-Tashawwuf al-Sunniy.
Demi mempertahankan identitas dan karakteristik tasawuf
Islam, al-Qusyairi mencoba menanamkan kesadaran komunal bahwasanya landasan
tasawuf Islam adalah pemahaman terhadap ideologi (akidah Ahl al-Sunnah wa
al-Jama`ah) secara utuh. Dengan pendapatnya ini, al-Qusyairi dengan keras
menegasikan keniscayaan adanya syathahiyât dalam menjalani fase al-Fana’.
Tetapi yang disayangkan, apa yang dicoba dibenahi oleh
al-Qusyairi dengan menyodorkan formulasi pengembalian idealitas tasawuf Islam
kepada akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah justru sarat dengan warna-warna
persaingan teologis antara `Asy`ariah versus Mu`tazilah. Sikap dan gaya
al-Qusyairi inilah yang nanti banyak memberikan inspirasi bagi al-Ghazali dalam
mengembangkan al-Tashawwuf al-Sunniy.
Senada dengan al-Qusyairi adalah Abu Isma`il `Abdullah
ibn Muhammad al-Anshari atau yang dikenal dengan nama al-Harawi (lahir 396 H).
Tokoh ini dengan keras menyangkal syathahiyât sebagai fenomena lumrah al-Fana’
yang dapat dilegalkan. Kengototan tokoh ini menjadi wajar bila melihat latar
belakang intelektualnya sebagai seorang pakar fikih madzhab Hanbali. Bahkan,
dia tidak hanya membabat fenomena syathahiyât. Formulasi-formulasi
tasawuf ala `Asy`ariah pun tak luput dari kritikannya. Dalam buku kecilnya,
Manazil al-Sa'irin ila Rabb al-`Alamin, al-Harawi menjelaskan:
" Mayoritas ulama tasawuf sepakat bahwa kualitas
hasil akhir apapun akan bergerak sebanding dengan kualitas permulaannya
sebagaimana bangunan pun tidak akan mampu berdiri tanpa adanya
landasan-landasan yang menyangganya. Dan kualitas permulaan suatu hal
sesungguhnya terkait erat dengan ketulusan motivasi dan kekonsistenan dalam
menerapkan nilai-nilai profetik."(Ibid, hal. 145-151).
Di tangan Abu Hamid Muhammad al-Gazali perkembangan
tashawwuf sunniy menjadi kian luar biasa. Berangkat dari pemahamannya yang
memuaskan terhadap kajian fikih, ushul fikih dan ilmu kalam serta
ketidakpuasannya terhadap metode pencarian kebenaran yang ditawarkan filsafat
membuat konsep tasawuf Islam umumnya dan tashawwuf sunniy, khususnya menjadi
demikian merangsang minat masyarakat. Konsep tasawuf dalam perspektif
al-Ghazali adalah konsep tasawuf yang memadukan secara tepat antara fikih
sebagai perwakilan aspek eksoteris dengan etika dan estetika sebagai perwujudan
dari dimensi esoteris sebagaimana yang nampak dalam Ihya' `Ulum al-Din.
Mungkin yang tertinggal dari konsep tasawuf yang
diketengahkan al-Ghazali adalah keengganannya untuk mengikutsertakan
wacana-wacana filosofis. Bahkan dengan tegas al-Ghazali menyebutkan bahwa jalan
ideal untuk mencapai kebenaran adalah perilaku tasawuf, bukan
tindakan-tindakan filsafati. Dampak dari keengganannya melibatkan unsur-unsur
filsafat, menjadikan tasawuf al-Ghazali
nampak kurang greget di mata sebagian pakar tasawuf kontemporer. Namun
pada akhirnya, sejarah tidak dapat memungkiri betapa besar jasa al-Ghazali yang
metode bertasawufnya masih relevan dalam pergantian zaman.[1]
Kalau al-Ghazali mengandaikan jalan tunggal mencapai
kebenaran dengan tashawwuf sunniy-nya, maka keyakinan yang kontradiktif
dimunculkan oleh sebagian pelaku-pelaku tasawuf lainnya. Kelompok yang memposisikan
dirinya sebagai anti tesa dari tashawwuf sunniy lebih mengimani bahwa
pencapaian menuju kebenaran akan lebih menyenangkan dengan melakukan kombinasi
antara pendekatan intuisi dan nalar. Keyakinan inilah yang melahirkan aliran
tasawuf baru, al-Tashawwuf al-Falsafiy.
Dalam benak penulis, inilah wujud dari aliran tasawuf
yang betul-betul moderat karena dengan tangan terbuka berani mengadapsi
aliran-aliran filsafat yang tengah meruyak dalam masyarakat. Ada filsafat
India, Yunani dan Kristen yang kesemuanya dilarutkan demi mencari sarana yang
ideal guna mencapai kebenaran.
Faktor-faktor yang banyak berperan membantu eksistensi
tasawuf aliran ini adalah konsep emanasi sebagai representasi dari filsafat
Neo-Platonisme, filsafat Hermeticism, Rasa'il Ikhwan al-Shafa, Filsafat Timur
(Persia dan India) dan Syi`ah Isma'iliah Bathiniah.
Dari komunitas al-Tashawwuf al-Falsafiy ini terlahir
wacana-wacana tasawuf yang dianggap keblabasan dan telah keluar dari akidah
seperti wahdat al-wujud (pantheisme) yang dikembangkan dengan apik oleh Muhyi
al-Din ibn`Arabi (628 H). Tokoh ini tidak mempercayai konsep creatio ex
nihilo, melainkan lebih senang meyakini kebenaran konsep emanasi. Ada
lagi hulul (incarnation), wahdat al-adyan (unity of
religion) dan al-Quthb. Perbedaan yang teramat kentara dari kedua
aliran di atas adalah skala prioritas pemakaian sarana yang memediasi olah
kebatinan (al-Tajribah al-Ruhiyah).
Kalau
kalangan Tashawwuf al-Sunniy bahwa jalan
mencapai al-kasyf adalah hati, maka bagi kalangan al-Tashawwuf al-Falsafiy
adalah dengan eksperimen-eksperimen secara optimal dengan mengeksplorasi panca
indera yang dilandasi dengan kesungguhan bernalar.
Perjalanan
sejarah al-Tashawwuf al-Falsafiy mencatat nama-nama besar yang tidak
terpisahkan dari aliran ini. Yang pertama kali harus disebut adalah
al-Suhrawardi al-Maqtul (587 H) yang memunculkan filsafat iluminasi. Kemudian
disusul oleh nama Ibn Sab`in yang melahirkan konsep al-wahdat al-muthlaqah yang
mengandaikan bahwa wujud yang ada secara absolut hanyalah wujud Tuhan. Yang tak
kalah pentingnya adalah kemunculan terma al-hub al-ilahiy, wahdat al-syuhud
oleh Ibn al-Faridh. Dalam paradigma wacana ini, cinta sejati hanya dapat
terlahir dengan menghadirkan sang kekasih yang dapat terlaksana dengan cara
menafikan wujud selain sang kekasih (Tuhan).
Tasawuf Islam
memang akan menarik bila dihadirkan dalam pendekatan epistemologis-kritis,
bukan penyajian yang memberikan ruang terlalu besar untuk model penceritaan
sejarah yang cenderung klasik dan sarat dengan muatan-muatan indoktrinasinya.
Penyajian semacam itu dicoba diterapkan oleh al-Taftazani secara maksimal walau
akhirnya harus mengalami kegagalan.