ASTANA GUNUNG JATI CIREBON
ASTANA GUNUNG JATI CIREBON
SUTEJO IBNU PAKAR
GEOGRAFIS CIREBON
Terletak di Pantai Utara Jawa, Cirebon
disebut sebagai kota udang. Cirebon berarti air udang kecil. Pecahan dari Ci
dan Rebon; Ci (atau cai) dalam bahasa sunda berarti “air” dan Rebon berarti “udang kecil”. Banyaknya rebon
atau udang kecil di Cirebon menurut cerita menjadi asal muasal nama kota
Cirebon. Daerah Cirebon dahulu pernah bernama Caruban yang artinya tempat
dimana orang berbaur dan tinggal berdampingan. Sebagai perbatasan antara Jawa
Barat dan Jawa Tengah, di sebelah timur Cirebon berbatasan dengan Kabupaten
Tegal, di utara dan timur-laut dengan laut, sebelah barat dengan Kabupaten
Subang dan Sumedang, di selatan dengan Kabupaten Ciamis.
Secara administratif, Cirebon adalah bagian
dari propinsi Jawa Barat. Berdasarkan sistem administratif, kabupaten dan
kotamadya memiliki status yang sama. Masing-masing berada di bawah kepemimpinan
gubernur Jawa Barat. Setingkat di bawah kabupaten dan kotamadya adalah
kecamatan. Satu kecamatan bisanya terdiri dari 10 – 12 desa atau kelurahan.
Tiap desa atau kelurahan dipimpin oleh kepala desa atau lurah (Kuwu). Tingkat
paling bawah kelurahan masih dibagi lagi menjadi beberapa dusun (RW). Dusun
dipimpin oleh kepala dusun yang mengkoordinir beberapa Rukun Tetangga
(RT).Kotamadya dan Kabupaten Cirebon, terletak antara 108° 50` Bujur Timur, dan
60° 30` dan 7° 00` Lintang Selatan. Luasnya 984,15 km persegi atau kira-kira
2,15 % propinsi Jawa Barat. Area ini terbentang dari barat ke timur sepanjang
54 km dan dari utara ke selatan 39 km.
FILSAFAIS ASTANA GUNUNG JATI (KOMPLEK
MAKAM)
Komplek Astana Gunung Jati terletak di Desa
Astana, Kecamatan Cirebon Utara, 5 km arah utara sepanjang jalur utama
Cirebon-Indramayu. Kompleks ini terdir atas dua lokasi yang dibelah oleh jalan
raya utama. Dari arah Cirebon, Gunung Jati berada di sebelah kanan jalan raya,
sementara di sebelah kiri jalan raya adalah Gunung Sembung.
Dari kaki bukit Gunung Jati, kita dapat
berjalan kaki melintasi jalan mendaki melewati makam para sahabat Sunan Gunung
Djati; namun, para sahabat ini tidak memiliki pertalian keluarga dengan
keluarga keratin. Naik lagi lebih ke atas dekat puncak bukit terlindung
pepohonan yang tinggi terdapat makam Syaikh Datu Kahfi. Ia dikenal sebagai guru
agama Islam pendahulu Sunan Gunung Djati. Melalui jalan lain ke arah puncak
bukit terletak puser bumi, atau sebuah dataran tinggi yang dahulunya merupakan
bekas kawah gunung berapi; dari kawah ini kita dapat melihat pemandangan
langsung ke laut. Mendekati puncak, terdapat sebuah gua (dalam bahasa arab:
kahfi), yang konon menjadi tempat berkhalwat Syaikh Datu Kahfi. Dan dari
situlah asal mula Syaikh Datu Kahfi.
Di seberang jalan utama dari bukit Gunung
Jati adalah wilayah bekas Pasambangan (sekarang wilayahnya hanya mencakup
Pakemitan yakni sebuah bangunan tempat tinggal pengurus kompleks pemakaman),
tempat lokasi kompleks pemakaman Gunung Sembung. Beberapa penjaga mengatakan
bahwa dahulu Gunung Sembung adalah sebuah tempat peristirahatan, tetapi setelah
Nio Ong Tin (Nyai Rara Sumanding), istri Sunan Gunung Djati yang berasal
dari Cina meninggal dunia dan dikubur di sana, tempat itu berkembang menjadi
kompleks pemakaman. Nama Sembung konon berasal dari kata sambung, karena tempat
itu dibangun dengan menambahkan banyak sekali tanah yang diambil dari berbagai
tempat dan ditambahkan ke bukit yang ada.
Berhadapan dengan jalan utama
Cirebon-Indramayu di depan Kantor Desa adalah jalan aspal sepanjang 500 meter
menuju alun-alun Astana, juga ke kompleks Gunung Sembung, yang terhampar di
sebelah Utara. Pendirian bangunan kompleks ini ditunjukkan dalam Candra
Sangkala (prasasti) dalam huruf Jawa―yang berbunyi “Sirna Tanaman
Warna Tunggal,” bertahun Saka 1400. Prasasti Candra Sangkala “Sirna (hilang), Tanana
(tiada), Warna (empat), Tunggal (satu),” menurut
Juru Kunci, mengacu pada angka 0041 yang harus dibaca dari kanan ke kiri. Ia
menunjukkan Tahun Saka yang perhitungannya dimulai tahun 78 Masehi.
Di alun-alun terdapat dua bangunan yakni; Pendopo
Ringgit dan Mande Mangu. Pendopo Ringgit adalah gedung
tempat pertunjukkan wayang atau pertunjukkan lainnya, sedangkan Mande Mangu
adalah rumah kayu di sayap barat. Rumah ini berprasasti Candra Sangkala “Singa
Kari Gawe Anake,” bertahun Saka 1402, dan konon merupakan hadiah dari
Ratu Nyawa, puteri Raden Fatah dari Demak, yang menikah dengan Gung Anom (P.
Bratakelana), putera Sunan Gunung Djati. Jalan masuk pertama ke dalam
kramat adalah melalui dua gerbang tak beratap (candi bentar),
yang diberi nama Gapura Wetan (Gerbang Timur) dan Gapura
Kulon (Gerbang Barat). Kata gapura berarti ‘jalan masuk’ atau ‘gerbang’, dan secara
simbolis diasosiasikan dengan kata arab “ghafura,” yang artinya
‘ampunan’, yang menyiratkan bahwa orang yang melalui gerbang ini akan mendapat
ampunan.
Beberapa langkah dari Gerbang Timur,
dikelilingi dinding setinggi setengah meter membatasi kompleks pemakaman dengan
alun-alun di sisi kanan gerbang, terdapat sebuah sumur yang dinamakan Sumur
Jati. Di sisi kiri gerbang, tiga buah bangunan berdiri sejajar. Bangunan
pertama adalah Mande Cungkup Danalaya, yang berstruktur kayu milik
Desa Danalaya (8 km barat Cirebon). Berikutnya adalah museum tempat menyimpan
koleksi hadiah dari raja-raja asing kepada Sunan Gunung Djati. Di dalamnya
tersimpan puluhan guci dari Dinasti Ming, serta berbagai benda-benda berharga
lainnya. Bangunan ketiga disebut Mande Cungkup Trusmi, yang
berstruktur kayu milik penduduk Trusmi dan berfungsi seperti halnya Danalaya.
Di gerbang kedua, yang ditandai dengan guci
tempat mengambil wudlu, sebelum melakukan ziarah, terdapat Pendopo Soka
yang dahulu berfungsi sebagai gedung pertemuan (kini dimanfaatkan sebagai ruang
istirahat peziarah). Di sebelahnya adalah Siti Hinggil, yaitu panggung tempat
Sultan melemparkan pandangan ke alun-alun. Di dekat Siti Hinggil, berdiri
bangunan kayu yang disebut Mande Budi Jajar atau Mande Pajajaran dengan Candra
Sangkala “Tunggal Boya Hawarna Tunggal,” bertahun Saka 1401.
Mande ini konon dibawa oleh Dipati Jagabaya dari Pajajaran dan digunakan oleh
Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) sebagai pemimpin Cirebon di bawah
kekuasaan Pajajaran.
Gerbang utama ke tempat tujuan ziarah adalah Gerbang
Weregu. Para peziarah harus melewati gerbang ini menuju Pakemitan
(bangunan berpilar yang berfungsi sebagai Pasambangan atau kantor pengurus
makam). Pasambangan terbagi dua bagian yaitu Paseban Bekel (kantor bekel) di
sebelah Barat dan Paseban Kraman (kantor wong kraman) di sebelah Timur. Di
kantor inilah pengurus makam menjalankan tugasnya dengan berpakaian adat
Cirebon lengkap dengan ikat kepala, kemeja kampret putih untuk bekel atau
kutung (penutup dada) untuk kraman, dan tapi (kain batik).
Di sisi kiri sepanjang koridor adalah
bangunan Gedongan Raja Sulaeman, yang didirikan oleh Sultan Sepuh IX dan
kemudian dijadikan makamnya. Seluruh dinding di bagian ini dihiasi piring
porselen Belanda dan Cina. Lantai tempat duduk peziarah berada di dekat
gedongan ini. Lantai tersebut membujur diapit Gedongan Raja Sulaeman di Timur,
Pelayonan di Barat, Lawang Krapyak di Selatan dan Lawang Pasujudan atau
Siblangbong di Utara. Kedua lawang (gerbang) ini
adalah bagian dari sembilan gerbang yang berdiri berurutan dari selatan ke
utara, sepanjang jalur mendaki dari alun-alun menuju makam Kanjeng Sunan Gunung
Djati di puncak bukit. Urutan Gerbang Sembilan adalah: 1) Gapura Kulaon, 2)
Krapyak, 3) Pasujudan atau Siblangbong, 4) Ratnakomala, 5) Jinem, 6) Rararga,
7) Kaca, 8) Bacem, dan 9) Teratai.
Kecuali Gapura Kulon, semua gerbang tertutup
rapat dan dibuka hanya pada malam Syawalan khusus bagi Sultan dan keluarga.
Krapyak dibuka setiap malam Jumat Kliwon selama tahlilan, tidak untuk
dilintasi, melainkan hanya untuk memperlihatkan jalur mendaki menuju bukit.
Ke arah barat, di dekat lantai ziarah adalah
Pelayon atau Mande Layon, bangunan kayu yang berfungsi sebagai tempat jenazah
disemayamkan sebelum dikubur. Setelah ini, ada tempat bagi peziarah Cina
membakar hio untuk memuja Nio Ong Tin, dan terakhir di ujung Barat kompleks
makam, berdiri Gedong Keprabon, tempat berziarah khusus bagi Sultan beserta
keluarganya (lihat diagram). Gedong Raja Sulaman adalah satu-satunya
bagian keraton yang boleh dilintasi oleh peziarah umum. Gerbang lain setelah Lawang
Pasujudan di sepanjang sisi Timur dan Barat hingga ke arah puncak bukit,
normalnya tidak boleh dilintasi oleh peziarah umum. Hanya ketiga Sultan dan
kerabatnya (atau mereka yang memperoleh izin tertulis dari Sultan) yang
diperbolehkan masuk.
Gerbang utama dinamakan Gedong Jinem Gusti
Syarif, yang terletak di puncak bukit tempat dimakamkannya Sunan Gunung Djati
dan 17 tokoh-tokoh penting lainnya―seperti Walangsungsang(Cakrabuana),
Fadhillah Khan (Falatehan), Rarasantang (Syarifah Mudaim), dan Nyai Ratu
Tepasari (Tepasan). Di atas atap Gedong Jinem ini terdapat memolo (puncak) yang
disebut kendi petula (kendi zamrud) bersepuh emas murni. Di balik dinding, di
luar 29 blok kraton terletak makam para pendiri (Ki dan Nyai Gede) berbagai
desa. Bagian ini terbuka untuk umum pada malam Syawalan dan Raya Agung.
Beberapa langkah dari Gerbang Timur,
dikelilingi dinding setinggi setengah meter membatasi kompleks pemakaman dengan
alun-alun di sisi kanan gerbang, terdapat sebuah sumur yang dinamakan Sumur
Jati. Selain Sumur Jati, ada dua buah sumur lain, yaitu Sumur Kesepuhan dan
Sumur Kanoman, yang terletak di ujung Barat komplek makam. Selain itu masih banyak sumr
lain, salah satunya adalah Sumur Kejayaan di dalam Masjid di sisi Timur-Laut
kompleks makam. Banyak peziarah termasuk orang Cina mandi di tujuh sumur (adus
sumur pitu), secara berpindah-pindah dari satu sumur ke sumur berikutnya.
Tujuan acara mandi ini adalah melepaskan kotoran dari badan (ngirab), sebagai
simbol membersihkan semua dosa dan menyingkirkan nahas (mbuang kekebel).
Nama-nama ketujuh sumur tersebut adalah:1) sumur Jati, 2) sumur Kesepuhan, 3) sumur
Kanoman, 4) sumur Kejayaan, 5) sumur Tegang Pati, 6) sumur Jala Tunda, 7) sumur
Kadigjayaan?