MENUJU TRANSPERSONAL
MENUJU TRANSPERSONAL
SUTEJO IBNU PAKAR
Tazkîyat al-Nafs, dalam pandangan
para sufi, merupakan istilah bagi
praktek-mujãhadah.[1] Mujãhadah dijalani atas petunjuk al-Sunnah dan menekankan kesesuaian antara amaliah lahiriah
dan amaliah batiniah.[2]
Mujãhadah berarti
mengendalikan kecenderungan hawa nafsu dari masalah-masalah
duniawi. Mujãhadah yang berlaku di kalangan orang kebanyakan
adalah pelaksanaan ibadah lahiriah yang
sesuai dengan ketentuan syari’at.
Kalangan khawãsh
memaknai dimaknai mujãhadah sebagai
usaha keras menuscikan batin dari segala akhlak tercela.[3]
Mujãhadah, dengan
demikian, merupakan sistem perbaikan diri dalam bentuk perbaikan dan
peningkatan kualitas pribadi. Perbaikan yang dimasud adalah pengosongan diri
dari segala akhlak batiniah yang tercela. Peningkatan diri diakukan dengan cara
mengisi aspek batiniah yang telah bersih
dengan akhlak terpuji dan berbagai keutamaan. Perbaikan diri dilakukan dalam
rangka memperkuat ’aqidah, membersihkan tauhid dari segala bentuk syirik, dan meningkatkan kualitas al-Îmãn
menjadi al-Yaqîn. Perbaikan adalah proses intrenalisasi al-Yaqîn dalam bentuk akhlak karimah sebagaimana
diajarkan Rasulullah SAW. Perpaduan
antara al-Îmãn dan akhlak karimah
(al-Isãm) adalah ihsãn
Tasawwuf
bemula dari amalan-amalan praktis, yakni laku mujãhadah dan riyãdhah. Para sufi
tidak akan sampai pada tujuannya terkecuali dengan laku mujãhadah yang
dipusatkan untuk mematikan segala keinginannya selain kepada Allah,
menghancurkan segala kejelekannya dan menjalankan bermacam riyãdhah yang diatur dan ditentukan oleh para sufi
sendiri.[4]
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam kehidupan tradisional maupun modern.[5]
Tasawuf, sebagai induk dari
tarekat, adalah ajaran
tentang latihan pengendalian diri (mujâhadah al-Nafs) sehingga manusia mencapai
kualifikasi jiwa dekat (qurb) dan ma’rifat kepada Allah sebagai hasil puncak dari proses pensucian
jiwa (tazkîyat al-Nafs).
Para sufi memandang mujâhadah al-Nafs sebagai prioritas sebelum seseorang
melanjutkan pengembaraannya menuju mendekati Allah. Imam al-Daqãq menegaskan bahwa, setiap orang
yang menghiasi amaliah lahiriahnya dengan mujâhadah al-Nafs maka Allah akan membaguskan ruhnya dengan
dikaruniai kemampuan musyâhadah. Oleh karena itu, setiap murid memiliki
tugas untuk mememrangi hawa nafsunya karena ibadahnya murid tidak lain adalah mujâhadah al-Nafs. Setiap murid yang tidak memulai
sesutau dengan mujahadah maka
dipastikan dia tidak akan dapat mendapapatkan jalan benar menuju Allah sama
sekali.[6]
Kehidupan jiwa yang sebenarnya adalah mujãhadah
dan kematiannya terjadi karena ia
tenggelam dalam kemaksiatan. Zakîyat al-Nafs adalah dambaan para pelaku mujãhadah karena
dapat membantu mempermudah proses
sampainya seseorang kepada Allah (wushûl), ma’rifatullãh, kasyf dan musyãhadah.[7] Kehidupan sufi
adalah kehidupan mendekat dan kembali kepada Allah untuk mencapai ma’rifatullãh.[8] Kasyf
dihasilkan oleh cinta (hubb)
Allah.[9] Cinta Allah merupakan hasil dari dzikrullãh[10].
Ma’rifat, istiqãmah raf’u al-Hijãb adalah karãmah
yang paling agung yang didamba setiap sufi dan seseorang yang sedang menempuh
jalan menuju Allah. Sumber pokok timbulnya karãmah itu adalah zuhud.[11] Zuhud berarti rasa
menerima dengan penuh ketulusan semua
yang diberikan Allah. Kondisi berpunya dan tidak berpunya dalam hal kekayaan,
jabatan dan status sosial diterima dengan perasaan yang sama.[12]
Ma’rifat adalah
pengalaman puncak kesufian, yang berkenaan
dengan perasaan mendalam. Pengalaman
adalah pengalaman keilahian yang
mendalam dimana saat itu ia mengalami fanã’, sebagai hasil dari takhallî
dan tahallî. .[13]
Seseorang yang mengalaminya dikaruniai kepercayaan diri dan keyakinan, kehidupannya lebih harmonis serta memiliki pemahaman yang luas terhadap dunia
sekelilingnya. Perilaku keseharian lebih
agamis dan kesalehannya lebih baik dari
sebelumnya.
Keberhasilan
menjalani pengalaman puncak melahirkan
pribadi dengan pengetahuan yang realistis mengenai dirinya, dan
kemampuan menerima dirinya apa adanya, dan mencintai sesama manusia.[14] Dia
tumbuh menjadi individu yang dapat bergaul dengan orang lain berdasarkan
nilai-nilai kemanusiaan dan meletakkan kepentingan umum di atas segala-galanya.
Dia adalah individu yang memiliki pendirian dan berusaha keras untuk memcahkan
berbagai persoalan yang dihadapinya. Pengalaman sufistik pada dasarnya dibentuk oleh kerinduan untuk
mengenali Allah dan berhubungan dengan-Nya.
Kerinduan kepada Allah berawal dari kecintaan kepada
Allah. Kecintaan lahir sebagai buah
dari dzikirullãh yang dilakukan
secara konsinten. Dzikirullãh akan berkembang menjadi penghayatan kehadiran Allah.
Pelaku dzikirullãh tidak pernah
merasa hidup dalam kesendirian datau kesepian. Dia mendpatkan relaksasi
dan memliki ketenagan. Secaa fungsional dzikirullãh dapat
membiasakan hati dekat dan akrab dengan Alah dan berahir paa kecintaan
mendalam kepada-Nya. Impliksinya secara
sosial adalah adanya kedisiplinan
dalam menjalankan syariat dan kemantapan pelaku dzikirullãh dalam berhubungan dengan sesame, serta hidunya
terasa lebih bermakna. [15]
Dzikir
atau wiridan tarekat, di awal perkembangan tarekat, [16]
memiliki kekuatan tersendiri sampai-sampai
ada kekhawatiran terhadap
pengaruh dzikir kaum sufi yang dapat menyaingi atau bahkan menggantikan masjid
sebagai pusat kehidupan keagamaan. Dzikir dirumuskan sebagai metode efektif yang diterapkan dalam proses pembinaan murid
tarekat. Dzikir yang
dilakukan secara berjama’ah dapat memperkokoh tekad, membangkitkan semangat
kesalehan dan ketakwaan.[17] Takwa dalam arti kesadaran tentang kehadiran Allah yang
semakin mendalam.[18]
Ma’rifat adalah buah dari kedekatan dengan Allah.
Ketika seorang sãlik telah
mencapai derajat tauhîd dan ma’rifat maka dipastikan ia mendapatkan tujuan akhirnya
berupa kebahagiaan, keamanan dan kedamaian. [19] Tujuan sãlik adalah sampai kepada tujuan akhir sufi yaitu: zakîyat
al-Nafs dan tashfîyat al-Qalb.[20] Zakîyat al-Nafs atau kesucian jiwa dapat dipelihara dengan menempuh jalan
takwa secara istiqãmah.
Ma’rifat bukan hasil
dari kontemplasi spekulatif tentang Allah, melainkan berkat latihan-latihan
spiritual (riyãdhah) dan pensucian jiwa (tazkîyat al-Nafs) yang dilakukan melalui praktek tarekat.[21] Ibadah sufi adalah tazkîyat al-Nafs untuk
menghubungkan hati dan musyãhadah dengan Allah dengan bantuan Nabi SAW.[22] Tarekat adalah wujud nyata tasawuf yang lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari. Tuntunan kemudian
dijadikan jalan seorang sãlik
untuk
menuju Allah
dan berada dekat sedekat mungkin
kepada-Nya.
[1] al-Naqsyabandî, Ahmad al-Kamsyakhãwãnî Jãmi’ al-Ushûl fî al- Awliyã’ wa Anwã’ihim
wa Awshãfhim wa Ushûl Kull Tharîq wa Muhimmãt al-Murîd wa Syurûth al-Syaykh, Mesir, Dãr al-Kutub al-‘Arabîyah al-Kubrã, t.th., h. 125.
[2] al-Naqsyabandî, Jãmi’ al-Ushûl, h. 310.
[3] al-Naqsyabandî, Jãmi’ al-Ushûl, hal. 125
[4]Abdul Hakim Hasan, al-Tashawwuf
fi al-Syi’r al-‘Arabi, h. 20
[5] Sayuthi, Mahmud, Politik dan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah Jombang Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat, Yogjakarta, Galang Printika, 2001, hal. 6 dan
209
[6] al-Husayni, Iqâdz al-Himam, hal. 210.
[7] Farîd, al-Tazkîyah bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufîyah,
hal. 23-24.
[8] al-Ghazãlî, Ihyã’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz I, hal. 11
[9] al-Ghazãlî, Ihyã’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz IV, hal. 54
[10] al-Ghazãlî, Ihyã’ ‘Ulûm al-Dîn, Juz III, hal. 247
[11] al-Husaynî, Îqãdz al-Himam, hal. 208
[12] al-Husaynî, Îqãdz al-Himam, hal. 101
[13] Goble, Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik
Abraham Maslow, hal. 210.
[14]
Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, hal. 350.
[15] Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi
dengan Islam, Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 1995, hal. 160-161.
[16]
Gibbs, Mohammedanisme, terj., Jakarta, Bhatara, 1960, hal.
113-114.
[17] al-Najar, Amir, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, terj. Ija Suntana, Bandung, Mizan, 2002, hal. 36
[18] al-Najar, Psikoterapi Sufistik, hal. 60
[19] al-Najar, Psikoterapi Sufistik, hal. 44
[20]
al-Najar, Psikoterapi
Sufistik, hal. 187
[21] al-Palimbani, Abd.
Shamad, Syar al-Sãlikin, J. IV, h. 103.
[22] Farîd, al-Tazkîyah bayn Ahl al-Sunnah wa al-Shufîyah,
hal. 23-24.