MENUJU ALLAH
MENUJU ALLAH
Sutejo IBNU PAKAR
Setiap pribadi muslim
pasti mendambakan kehidupan yang husnul khotimah sebuah perjalanan
hidup dan kehidupan yang berakhir dengan kebaikan. Khusnul khotimah yang
dimaksud, sebagiaman dimaklumi secara umum, adalah kehidupan yang berkahir
dengan kemampuan melafalkan kaliat tauhid : Laa iaaha ilaa Allahu. Khusnul
khotimah bukan sebuah akhir yang tidak memiliki awal atau proses. Para lama
sepakat bahwa untuk dapat mencapainya setap pribadi muslim disyaratkan unuk
memiliki dua kebaikan uama yani husnul ‘ibadah dan husnul mu’amalah.
Husnul ‘ibadah adalah
cara-cara yang baik yang dilakukan dalam setiap peribadatan, penghambaan, dan
pengabdian kepada Allah SWT. Husnul
mu’amalah merujuk kepada kebaikan
didalam pegaulan dan berinteraksi dengan
sessama manusia dan semua ciptaan Allah SWT. Husnul ‘ibadah adalah wujud peghayatan terhadap peran
sebagai ‘abdullah hamba Allah
dan husnul mu’amalah merupakan wujud peghayatan terhadap peran
sebagai khalifatullah.
Setiap murid tarekat memiliki tugas pokok
harian yang apabila dapat diaksanakan secara kontinyu maka ia akan dapat sampai
kepada tujuan yang telah dicanangkan. Keempat tugas iu adalah munajat, muhasabah, mu’asyarah
dan takhalli atau pembersihan diri (setiap saat). Pelaksanaan tugas pokok itu tentunya
mensyaratkan niat. Niat itu harus ditujukan karena Allah dan untuk Allah. Setiap peribadatan (‘badah dan ‘ubudiyah) harus berawal dari Allah
dan berakhir kepada Allah.
Tugas berikutnya adalah setiap murid tarekat atau pengamal tasawuf
harus melakukan perjalanan (suluk) menuju atau sampai keada Allah (wushul). Tahapan-tahapan itu dimulai dari tahapan tawbat dan
seyogyanya diniatkan karena Allah dan untuk Allah. Pendakian ruhaniah yang tidak berlandaskan “dari Allah dan
untuk Allah” akan berakhir dengan kesia-siaan.
Seseorang yang sedang mendaki tahapan zuhud misalnya
tetapi orientasinya untuk sesuatu selain Allah laksana seekor keledai yang berjalan
sepanjang siang dan malam dengan beban
di punggungnya. Dia merasa sangat letih dan seluruh kekuatannya tekuras
habis karena mengira telah menempuh
perjalanan sangat jauh. Sesengguhnya
keledai itu tidak pernah melakuka perjalanan ke mana pun,
dia tetap berada di tempatnya dan tidak
bergeser sedikitpun.
Setiap priadi yang melakukan pendakian
ruaniah (riyadhah, mujahadah, ata suluk) dengan niat atau tujuan
mendapatkan keutamaan-keutamaan atau karomah,
memburu pahala dan sorganya Allah,
atau tujun-tujuan dunawiah akan berakhir dengan keletihan, kesia-siaan dan
kualitas ruhaniah yang stagnant.
Sebaliknya, setiap pribadi yang dikaruniai
kemampuan meningaktkan kualitas niat dari selain Allah menuju Allah,
dia akan mendapatkan kemampuan syuhud dan ’uyyan serta tidak lagi bergantung kepada bukti-bukti
empiris dan logika (burhan) dalam meyakini serta persaksian terhadap tajalli
Allah SWT.
Ada tiga hal yang akan membantu murid tarekat untuk dapat
meningkatkan kualitas niat (berawal dari
Allah dan berakhr kepada Allah) yaitu:[1]
mengkhususkan setiap rencana hanya
untuk Allah, selalu berorientasi kepada
(ridho) Allah dalam setiap peribadatan bukan untuk kepentingan diri
sendiri atau kepuasan hawa nafsu, dan selalu kembali kepada Allah SWT (tawakal
dan istislam). Al-Syekh al-Imam Abu al-Hasan al-Syadzali menyarakan
empat hal yang dapat memperkuat orientasi “dari
Allah dan berakhir kepada Allah” yaitu:
hanya mencintai Allah, merasa cukup dengan bantuan Allah, shidq dan yaqin, keimanan yang benar, dan
meyakini segala ketentuan Allah.[2]
Allahu A’lambi al-Shawab