. JAM’IYAH TAREKAT
JAM’IYAH TAREKAT DI INDONESIA
SUTEJO IBNU PAKAR
Kelompok
orang-orang yang zuhud (zãhid atau zuhhãd) kemudian mengambil
perkumpulan atas dasar persaudaraan. Mereka lebih mendahulukan amaliah nyata
daripada perenungan-perenungan filasafis (kontemplasi atau meditasi). Mereka
mempunyai anggota dan tempat pemondokan serta guru khusus yang disebut syekh
atau mursyid. Mereka, dengan
demikian, telah memasuki sebuah perkumpulan yang terorganisir (jam’iyah).
Para
pertapa di abad
II hijriah (X Masehi) memunculkan
penyiar-penyiar (muballigh) agama yang populer.[1] Dalam abad yang sama pula terjadi perubahan
sifat umum pertapaan. Mula-mula dasarnya adalah rasa takut kepada Allah (khowf)
lalu
muncul penyebaran ajaran hubb/mahabbah dalam arti kecintaan berupa ketaatan dan
pengabdian yang berkesinambungan kepada Allah SWT.[2]
Perubahan dalam
sifat kemudian melahirkan perubahan dalam kepemimpinan. Semula
para pemimpin tarekat terdiri dari ulama salaf abad III Hiriah (XI M.) tetapi kemudian posisi itu diduduki
oleh tokoh-tokoh yang tidak terdidik dalam ketertiban agama dan oleh berbagai
macam kelas ekonomi dari warga Baghdad dan Baghdad keturunan Persia. Pada waktu
yang sama pergerakan itu menjauhi tujuan-tujuan politik revolusioner dari kaum
propagandis Syi’ah tentang keburukan-keburukan sosial.[3]
Maka, setelah abad II H. cikal
bakal atau orde baru tarekat dinilai baru lahir [4].
Syekh ’Abd. al-Qâdir al-Jaylânîy dianggap sebagai founding faher atau
pendiri awal.[5]
Sejak abad VI
dan VII Hijriah (XII dan XIII M.) tarekat-tarekat telah memulai jaringannya di
seluruh dunia Islam. Taraf organisasinya beraneka ragam. Perbedaan yang paling
utama dari semuanya itu terletak pada upacara dan dzikir. Keanggotannya sangat
heterogen. Kemudian sejak abad VIII H. (XIV M.) menyebar dari Sinegal sampai ke
Cina. Semenjak itulah tarekat-tarekat telah beraneka ragam dengan ciri-ciri
khusus dan berbeda satu dengan lainnya.
Mulai saat itu
tarekat menjadi organisasi keagamaan kaum sufi dengan jumlah relatif banyak dan nama yang berbeda-beda; didasarkan
pada pendiri atau pembuat wiridan atau hizb. Wilayah dakwahnya menyebar ke Asia Tengah,
Asia Tenggara, Afrika Timur, Afrika Utara, Afrika Barat, India, Irak dan Turki
serta Yaman, Mesir dan Syria.[6]
Setelah abad XII dan XIII M. tarekat berkembang menjadi sistem ritual dari
pelatihan kejiwaan/spiritual (riyâdhah) bagi kehidupan bersama syekh
atau mursyid. Dengan demikian, organisasi atau jam’iyah tarekat baru muncul
setelah abad IV H/XII M.
Pergerakan
tarekat adalah pergerakan apologetik, karenanya selama abad IV dan V Hijriah ia
bertambah kuat, meskipun masih tidak disukai para ulama dan sebelumnya ditekan
oleh pembesar-pembesar negara, terutama kaum syi’ah. Tekanan-tekanan yang
datang dari ulama-ulama ortodoks adalah karena kekhawatiran terhadap pengaruh
dzikr atau wiridan tarekat. Perumusuhan itu
muncul karena dzikr kaum sufi dapat menyaingi atau bahkan menggantikan
masjid sebagai pusat kehidupan keagamaan.[7]
Dari sekian
banyak tarekat hanya beberapa saja yang dinilai besar dan memiliki ciri khusus.
AJ Arbery, yang menganggap tarekat baru berdiri di abad V Hijriah (XI M.)
menunjuk tarekat-tarekat dimaksud adalah:
al-Qâdirîyah, al-Suhrâwardîyah, al-Syâdzalîyah, dan Mawlawîyah
(al-Rûmîyah).[8]
Sementara orientalis Gibbs menganggap tarekat al-Qâdirîyah, al-Rifâ’îyah, al-Badawîyah,
Mawlâwîyah, al-Syâdzalîyah, al-Naqsyabandîyah dan al-Khalwâtîyah sebagai tarekat yang memiliki ciri khas. Ia
pun mengkategorikan tarekat kota (Qâdirîyah dan Mawlâwîyah) dan
tarekat desa (al-Rifâ’îyah dan al- Badawîyah).[9]
Sedangkan Harun Nasution menilai tarekat al-Qâdirîyah, al- Rifâ’îyah,
al-Syâdzalîyah, Mawlâwîyah dan al-Naqsyabandîyah
sebagai tarekat besar dimaksud.[10] Tarekat syattâriyah
adalah salah satu tarekat yang mendapat simpati dan banyak pendukungnya di
Indonesia. Disamping itu terdapat pula tarekat Naqsyabandîyah dan Tijãnîyah.[11]
Tarekat Naqsyabandîyah sudah dikenal di Indonesia sejak abad ke-17
Masehi tetapi baru benar-benar menjadi populer pada akhir abad ke-19 Masehi.[12]
Tarekat ini memiliki banyak pengikut di kalangan orang Jawa. Disebutkan bahwa, syekh-syekh tarekat ini cenderung menedekati
penguasa dan mencari pengikut di kalangan elite politik.[13]
Tarekat syathãrîyah juga tercatat sebagai tarekat yang jauh lebih disukai murid-murid
Ahmad al-Qusyãsyî (w. 1660 M.) dan Ibrãhim bin Hasan al-Kûrãnî (1615-1690 M.)
di Indonesia, karena berbagai gagasan menarik dari kitab Tuhfah menyatu dengan tarekat ini. Ia merupakan
tarekat yang mempribumi karena mudah berpadu dengan tradisi setempat.[14]
Sementara tarekat Tijãnîyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad
al-Tijãnî (1737-1815 M.) sering disebut
sebagai tarekat neo-sufi. Tarekat ini dikenal reformis dan menentang pengkultusan para wali.[15]
Tijãnîyah masuk ke Jawa Barat pada
akhir tahun 1920-an.[16]
[1]Gibbs, H.A.R., Mohammedanisme, terj., Jakarta, Bathara, 1960, hal. 109.
[2]‘Azmi, al-Fik
al-Islamî., hal. 163.
[4] Kamil Musthafa,
al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu,’ Mesir,
Dar al-Ma’arif, hal. 443-444
[5] Kamil Musthafa,
al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’, Mesir,
Dar al-Ma’arif, hal. 184.
[6] Lapidius, A History of Islam Society, New York, Cambrigde University Press, 1989,
hal. 999.
[10] Nasution, Harun, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984, hal. 90-91.