Qût al-Qulûb
Qût al-Qulûb fî Mu’âmalat al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tawhîd
SUTEJO IBNU PAKAR
Abû Thâlib al-Makkîy menganjurkan setiap murîd tarekat
memiliki kekuatan irâdah.
Untuk memperoleh kekuatan tersebut seorang murîd dituntut untuk mampu menahan rasa lapar,
banyak berjaga di malam hari, banyak diam dari pembicaraan yang tidak
bermanfaat dan banyak melakukan khalwat.[1]
Al-Makkiy
memformulasikan tujuh perilaku yang harus dimiliki setiap murîd. Pertama, memiliki konsistensi dalam mewujudkan
kemauan. Kedua, selalu berusaha
sungguh-sungguh untuk dapat melakukan ibadah dan semua kebaikan. Ketiga,
mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Keempat, bergaul dengan
seseorang yang ‘alim tentang Allah. Kelima, melakukan taubat nasuha. Keenam,
selalu mengkonsumsi makanan/minuman yang halal. Ketujuh, bergaul dengan sahabat yang mampu mengkritik
kekurangan dan kelemahan.[2]
Ketentuan yang dirumuskan al-Makki di
atas lebih mengarah kepada etika atau adab murîd dalam mengelola potensi diri sendiri. Hal
senada juga dikemukakan oleh Muhammad Amîn al-Kurdî al-‘Irbîlî [3] bahwa seorang murîd harus senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT
dan oleh karenya hatinya harus selalu ingat kepada-Nya dengan melafalkan
(didalam hati) lafdz al-Jalâlah (Allãh). Lebih lanjut ia mengemukakan
bahwa, seorang murîd hendaknya dapat menghindari pergaulan yang buruk, selalu
mengkonsumsi makanan dan minuman yang
halal dalam kadar secukupnya, tidak tidur dalam keadaan berhadats besar (janâbah),
tidak berpengharapan atau berhasrat memiliki sesuatu yang sudah menjadi milik
orang lain, serta selalu menjaga lisan dari
perkataan yang tidak bermanfaat.
Kaitannya dengan hubungan murîd
dengan mursyid ada delapan
ketentuan yang harus dijalani oleh seorang murîd yang terdiri dari empat perilaku lahirian dan
empat perilaku batiniah. Ketentuan atau adab tersebut berlaku untuk setiap murîd tarekat dalam menjaga keharmonisan dengan
syekh dan bertujuan agar murîd selalu mendapatkan pertolongan dan bantuan
ruhaniah syekh yang sempurna. Oleh karenanya, disarankan seorang murîd benar-benar
mengetahui silsilah atau sanad sang mursyid benar-benar sampai kepada Nabi Muhammad.
Karena, untuk dapat limpahan cahaya atau bantuan ruhaniah dari Nabi disyaratkan ketersambungan dengan belau.[4]
Empat perilaku lahiriah yang dimaksud
adalah: menjalankan perintah mursyid meskipun
tampak jelas berbeda dengan pendirian murîd. Kedua, menjauhi apa saja yang dilarang oleh mursyid.
Ketiga, bersikap tenang dan penuh hormat ketika sedang berhadap-hadapan
dengan mursyid. Keempat, selalu menghadiri majlis sang mursyid. [5] Sedangkan empat perilaku batiniah itu adalah
meyakini sepeneuh hati kesempurnaan sang mursyid (syekh) karena
keahliannya dan penguasannya terhadap ilmu syari’at dan hakikat. Kedua,
memuliakan dan menjaga kemuliaan mursyid
dan selalu mencintainya dengan ikhlas. Ketiga, tidak memiliki keinginan
menyamai kepandaian atau kehormatan yang dimiliki syekh. Keempat, tidak
memiliki keinginan hendak berpindah atau memasuki tarekat lain.[6]
Adapun ketentuan yang harus dijalani
dalam pergaulan dengan sesama ikhwãn atau anggota tarekat adalah menjaga kemuliaan
sesama ikhwãn dimanapun dan
kapanpun. Kedua, mau memberikan nasihat dan petunjuk kepada sesama ikhwãn
yang membutuhkan. Ketiga, selalu bersikap tawadhu’ dan rela melayani sesama ikhwan. Keempat,
meyakini kesucian dan kesemprunaan sesama ikhwan serta tidak pernah merendahkan walaupun
secara lahiriah tampak ada kekurangan.[7]
Ibnu Sirin mengidentikkan dengan
agama karenanya dituntut adanya
kehatian-kehatian calon murid kepada siapa ia berguru dan mengambil
ijazah tarekat.
[1] al-Makkîy, Qût al-Qulûb fi Mu’âmalat al-Mahbûb wa Washf Tharîq
al-Murîd ilâ Maqâm al-Tawhîd, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 2005, hal.
169
[2]al-Makkîy, Qût al-Qulûb, hal. 169.
[3] al-‘Irbîlî, Tanwîr al-Qulûb fi Mu’âmalat ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiah, 2010, cet. Kelima, hal. 584-587.
[4]al-‘Irbîlî, Tanwîr al-Qulûb fi Mu’âmalat ‘Allâm al-Ghuyûb, hal. 523-526.
[5]al-Husaini, Îqâdz
al-Himam, hal. 134-135
[6]al-Husaini, Îqâdz
al-Himam, hal. 135-136
[7]al-Husaini, Îqâdz
al-Himam, h.. 136-137