MBAH MUQOYIM; QADHI PATRIOT
MBAH MUQOYIM; QADHI PATRIOT
sutejo ibnu pakar
Jabatan penghulu kerajaan (qadhi) dalam sejarah Islam merupakan jabatan kehoratan karena kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral, yang oleh pemnguasa dikur berdasakan dedikasi dan loyalitas seseorang. Daulat Bani Umayyah da Daulat Bani ’Abbasiyyah menghasilkan banyak tokoh penghulu agama yag karya-karyaya dipegangi oleh kaum sunnni hingga sekarang. Mbah Muqoyim bin KH. Abdul Hadi diamanati tugas sebagai qadhi di lingkungan istana kesutanan Kanoman Cirebon karena kualitas intelektual dan moralnya.
Layaknya seorang qadhi setiap ucapan dan keputusannya adalah rujukan bagi kerja administratif dan manajerial serta aktivitas politik penguasa didalam usaha mengendalikan pemerintahan terkait langsung dengan kebijakan berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Kita bisa mencatatat nama al-Imam al-Mawardi, penulis kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, kitab yang, sampai dengan sekarang dijadikan rujukan berpolitik kaum nahdhiyyin, terkenal dengan semoboyan”megikuti penguasa yang dzalim adalah lebih baik daripada negara dalam keadaan kosong dari kepemimpinan, tidak memiliki pemimpin”.
Akan tetapi, pendirian qadhi yang tidak didengar oleh sang penguasa atau kebijakan puhlik sang penguasa yang tidak menemukan titik temu tekadang menjadi penyebab berakhirnya sang qadhi berada di dalam lingkungan sebuah kekuasaan. Demikialah yang dialami Mbah Muqoyyim pada suatu ketika di tahun 1750 M. lantaran pihak penguasa melakukan kompromi degan pihak penjajah Belanda. Ketegasan dan keberanian Mbah Muqoyyim menentang penguasa yang menerima kehadiran penjajah di ligkungan keraton Kanoman tidak saja membuahkan tegaknya kharisma keulamaan seorang kyai. Justru memperkuat kehadiran seorang guru mursyid Tarekat Syaththariyah yang memiliki kebebasan penuh melakukan poitik kerakyatan dalam arti melakukan pendampingan secara intens terhadap rakyat yang dalam posisi dianiaya penjajah.
Melalui pendidikan pesantren yang dibangunnya, Mbah Muqoyyim dengan segenap kekuatan pribadinya kembali menyusun semangat dan kekuatan rakyat melakukan perlawanan terhadap penjajah untuk merebut kembali hak-hak rakyat yang telah dirampas secara membabi buta. Penjajah berkeinginnan keras menjauhkan pengaruh Mbah Muqoyyim dari para peguasa Kanoman, tetapi dia tidak sendirian. Belanda yang, meyadari dirinya, tidak mampu mengendalikan Mbah Muqoyyim beserta para pengikutya, segera melakukan pengejaran dan bahkan pembakaran pondok pesantren yang dirintis sang kyai yang kemudian menjadi leluhur para kyai Buntet Pesantren.
Namun demikian, sang mursyid Sayththariyah ini tidak pernah merasa letih apalagi berputus asa memerdekakan rakyat dari penajajahan. Buku ini mengajak pembaca memahami peran seorang Mbah Muqoyyim sebagai penghulu keraajaan dan mursyid tarekat awal abad ke-18 Masehi yang didalam dirinya berkobar semangat nasionalisme (keindonesiaan) yang tidak pernah padam yang harus diteladani tidak hanya oleh murid-murid tarekat di Cirebon, tetapi masyarakat dan generasi bangsa negeri ini Indonesia tercinta. (ibnu Pakar).