ONTOLOGI MANUSIA
ONTOLOGI MANUSIA;
Membangkitakan Daya
Kritis Peserta Didik
Oleh:
SUTEJA
Dosen MK Metodologi
Studi Islam IAIN
CIREBON
PENDAHULUAN
Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani
semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai
berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi
untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf
ialah Thales dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar
karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada
sejarah filsafat.
Filsafat merupakan
pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang tercakup di
dalamnya empat persoalan : metafisika (ontologi), etika, agama, dan
antropologi.[1]
Pembahasan filsafat oleh para ahli kemudian dikelompokkan ke dalam
bidang-bidang pembahasan yang sering disebut sebagai cabang filsafat yaitu :
- Ontologi
atau metafisika, yaitu filsafat tentang hakekat yang ada di balik fisika,
tentang hakekat yang bersifat transenden, di luar atau di atas jangkauan
pengalaman manusia;
- Logika,
yaitu filsafat tentang pikiran yang benar dan yang salah;
- Estetika,
yaitu filsafat tentang kreasi yang indah dan yang jelek;
- Epistemologi,
yaitu filsafat tentang ilmu pengetahuan;
- Filsafat-filsafat
khusus seperti filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat
agama, filsafat manusia, filsafat pendidikan dan lain sebagainya.[2]
Namun
demikian, perlu dicatat bahwa pada garis besarnya filsafat itu mempunyai tiga cabang besar, yaitu teori
pengetahuan (epistemology), teori hakikat (ontology), dan teori
nilai (axiology). Teori
pengetahuan membahas bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat
membahas semua obyek dan hasilnya (pengetahuan filsafat). Teori nilai
membicarakan guna pengetahuan.
Ontologi
merupakan salah satu di
antara lapangan kajian kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran
Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua di
antara segenap failosof Barat yang kita kenal ialah orang Yunani yang bernama
Thales (625-545 S.M.) disusul kemudian Anaximandros (610-545 SM.), Anaximandros
(610-545 SM.), Anaximenes (585-528 SM.), Dn Demokritus (460-360 SM.).
Ontologi dapat mendekati
masalah hakekat dari dua sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan kenyataan
itu tunggal atau jamak. Yang demikian merupakan pendekatan kuantitatif.
Atau orang dapat mempertanyakan tentang “apakah yang merupakan jenis kenyataan
itu?”. Yang demikian disebut pendekatan kualitatif.
Parmenides mengatakan, kenyataan itu tunggal adanya dan
segenap keanekaragaman, perbedaan serta perubahan bersifat semu belaka. Dewasa
ini sistem monistik ini tidaklah umum dianut orang. Karena,
justru perbedaanlah yang merupakan kategori dasar segenap kenyataan yang ada
dan tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Tetapi, ada juga orang yang
berpendirian bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu sama hakekatnya. Pendirian
ini dianut oleh para pendukung paham monisme dewasa ini. Monisme menganggap hanya terdapat satu realitas dasar yang
mutlak, yang mungkin jiwa, benda, materi, Tuhan atau substansi bentuk yang
tidak diketahuidan bersifat netral.[3]
ASAL USUL SESUATU
Ontologi adalah cabang
filsafat metafisika yang berkaitan dengan hakekat dari kenyataan terakhir
(substansi pertama) atau sumber hidup segala makhluk.[4]
Secara simpel Ahmad Tafsir mendefinisikan ontologi sebagai ”teori hakikat yang
membicarakan hakikat benda”.[5]
Ontologi merupakan bagian dari teori hakekat.[6]
Ia sering disebut metafisika,[7]
dan metafisika sering disebut ontologi yang berarti ilmu haikikat. [8]
Ontologi dianggap sangat
penting karena dengannya orang menyeldidiki alam wujud ini dan bagaimana keberadaannya yang sebenarnya. Ilmu
ini dianggap penting sebab dari pengalaman manusia sehari-hari ternyata bahwa
untuk melihat, mengukur atau menetapkan bagaimana keadaan yang sebenarnya dari
benda itu, maka manusia selalu dikacaukan oleh dua hal yaitu: ketidak-tepatan
(relativitas) yang ada pada benda yang dinilai dan ketidak-tepatan (relativitas)
yang ada pada pencaindra manusia.
Ontologi adalah salah satu
cabang dari filsafat teoritis, disamping logika, filsafat alam (kosmologi), dan
filsafat tentang manusia (antropologi).[9]
Ontologi menyoroti persoalan-persoalan pokok tentang obyek yang menjadi
telaahan ilmu, wujud hakiki dari obyek tersebut dan hubungan antara obyek-obyek
tersebut dengan manusia yang berfikir, merasa dan mengindra. Pada prinsipya, ontologi
mempertanyaakan apakah hakekat sesuatu yang nyata itu.
Dalam persoalan ontologi orang juga
menghadapi masalah tentang bagaimanakah
kita menerangkan hakikat dari segala yang ada itu? Kenyataan petama berupa
sesuatu materi atau benda dan kenyataan kedua berupa non-materi. Selanjutnya
ontologi mempersoalkan bagaimanakah hakikat dan hubungan antara dua macama
kenyataan itu?
Ontologi
ingin menjawab pertanyaan;
Apa sebenarnya realitas benda-benda ? Apakah sesuai dengan penampakkannya (appearance)
atau sesuatu yang tersembunyi di balik penampakkan itu? Menjawab pertanyaan ini muncul empat atau lima
aliran, yaitu materailsme, idealisme, skepticisme, dan agnoitisisme.
Loiuis O. Kattsof mengajukan lima airan
untuk menjawab pertanyaan ini. Kelima aliran itu ialah: naturalisme,
materialisme, idealisme, hylomorfisme, dan positivisme logis.[10]
Sedangkan Hasbullah Bakry (1981:45) mengajukan empat aliran yaitu: dualisme,
materialisme, idealisme, dan agnosticisme.[11]
Bagian ini hanya akan membahas aliran-aliran : materialisme, dualisme,
idealisme, skepticisme, dan agnoticisme.
1. materailsme (NATURALISME)
Aliran tertua ini berpendapat
bahwa hakikat benda itu adalah materi, atau benda itu sendiri. Rohani, jiwa,
spirit dan sebagainya itu muncul dari benda. Roh, jiwa atau spirit hanyalah
merupakan akibat dari materi atau benda. Rohani itu tidak ada seandainya benda
itu tidak ada. Roh dan jiwa baginya bukanlah hakikat.
Menurut materialisme hakikat
manusia adalah materi. Manusia itu hakikatnya adalah seperti yang kelihatan.
Rohani manusia memang ada, tetapi bukan hakikat. Kepuasaan dan kebahagiaan
manusia terletak pada badan, jika badan hancur maka selesailah manusia itu. Roh
manusia hilang bersama badan. Materailisme, dengan demikian, tidak pernah
mempersoalkan sorga dan neraka, ataupun kehidupan akhirat.
Materialisme biasanya
diakitkan dengan teori atomistic atau atomisme. Dalam bentuknya yang kuno
(klasik). Menurut teori ini semua benda tersusun dari sejumlah bahan yang
disebut unsur. Thales (625-545 S.M.),
atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sampai
pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal usul
dari segala sesuatu. Anaximandros (610-545 SM.) menganggap asal usul
segala sesuatu adalah aperion alias sesuatu yang tidak terbatas.
Heraklitus menganggap asal usul segala
sesuatu adalah api. Anaximenes (585-528 SM.) beranggapan asal
usul sesuatu adalah udara. Demokritus (460-360 SM.) menganggap asal usul segala
sesuatu adalah atom-atom yang banyak jumlahnya tak dapat dhitung dan
amat halus.[12]
Materailsme menyimpulkan tentang atomistik sebagai berikut :
a. bahwa yang nyata hanyalah berupa atom-atom dan gerakannya.
b. Atom-atom itu bersifat abadi dan tidak berubah-ubah wujudnya dan tidak
rusak.
c. Atom-atom dan gerakannya itu hanya dapat diperkirakan menurut jumlahnya.
d. Atom-atom itu bertingkahlaku dalam berkumpulnya dan berpisahnya menurut
undang-undang yang tetap.
e. Semua keadaan dan kejadian dapat dijelaskan selengkapnya dari tingkahlaku
atom-atom itu.
2.
idealisme
idealisme berpendapat sebaliknya, bahwa
hakikat sesuatu itu adalah rohani, jiwa, atau spirit. Alasannya adalah : (1) nilai
roh itu lebih tinggi daripada materi atau benda, (2) manusia iti lebih dapat memahami dirinya
daripada dunia luar dirinya, dan (3) materi itu merupakan kumpulan energi yang
menempati ruang; benda tidak ada, yang ada hanyalah energi itu saja.
Idealisme beranggapan bahwa,
roh adalah hakikat yang sebenarnya. Materi hanyalah badan (tempat), bayangan,
jelamaan atau penamapakkan saja. Aliran ini menganggap materi itu sebenarnya
tidak ada. Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang, dan energi itu adalah
jenis rohani.
Idealisme memandang segala
kenyataan ini termasuk manusia sebagai roh. Roh itu tidak saja menguasai
manusia secara perseorangan tetapi roh juga yang menguasai kebudayaan manusia.
Aliran idealisme merupakan
aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Plato
adalah tokoh idealisme yang sangat terkenal. Dia menyatkan bahwa, alam
cita-cita, alam fikiran (idea) itulah yang merupakan kenyataan yang sebenarnya.
Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah merupakan bayangan saja
dari alam idea itu.
Hakikat, bagi pandangan
idealis, adalah roh. Paha mini akan berujung kepada sorga dan neraka, serta
Tuhan. Asal usul manusia, baginya, adalah dari Yang Hidup (Tuhan). Karenanya, mati adalah kelanjutan dari hidup
di dunia.
Perkembangan selanjutnya
mencatat adanya beberapa aliran idealisme yaitu:
a. Idealisme
Subjektif. Aliran ini
beranggapan bahwa manusia perseorangan
sebagai produsen dari alam kenyataan. Roh manusia juga sakti menentukan
jalannya proses kenyataan.
b. Idealisme
Objektif. Aliran ini beranggapan bahwa roh manusia
itu hanya sebagai satu bagian saja dari roh umum yang menggerakkan kenyataan
ini.
c. Idealisme Rasionalistis. Aliran ini beranggapan bahwa roh itu ialah
akal dan akal yang dimaksud adalah fikiran.
d. Idealisme Etis. Aliran ini mengagap bahwa roh yangdimaksud
disini adalah akal praktis yang berlaku dalam penilaian etika.
3. DUALISME
Aliran dualisme berpendapat bahwa, alam wujud ini terdiri dari
dua macam hakikat sebagai asal usulnya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Aliran dualisme berkeyakinan bahwa, alam wujud ini terdiri
dari dua macam hakikat sebagai asal usulnya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat
itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan antara keduanya itulah
yang menciptakan kehidupan dalam alam ini. Baginya materi bukan muncul dari
roh, dan roh bukan muncul dari benda. Keduanya sama-sama hakikat. Di
zaman aufklarung Descrates dan Spinoza mengakui aliran serba dua dan mengenal adanya
dua hakikat yang bersifat kerohanian dan kebendaan. Namun keduanya
mengakui bahwa kerohanian lebih penting dari kebendaan.
4. skeptisisme
Skeptisisme meragukan kemampuan manusia untuk
menegtahui hakikat sesuatu.
5. agnoticismE
Agnoticisme menyerah sama sekali. Mereka berpendapat
bahwa, manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda. Aliran ini selalu
menyangkal dengan tegas adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transenden.
Tokoh agnoticisme
modern Heidegger mengatakan satu-satunya yang ada itu ialah manusia karena
hanya manusialah satu-satunya yang dapat memahami dirinya sendiri. Jadi dunia
ini adalah dunia bagi manusia.
Tokoh agnoticisme modern yang lain, Jaspers menyangkal adanya sesautu
yang transenden. Baginya, yang mungkin itu hanyalah transcenderen yakni bahwa
manusia berusaha memahami dirinya sendiri dengan membawakan dirinya yang
belum sadar kepada kesadaran yang sejati (menemukan wujud kemanusiaan manusia
yang sejati). Baginya, transcendent (sesuatu yang mutlak) itu tidak ada sama
sekali.
PENUTUP
Ontologi merupakan teori tentang hakikat. Ontologi sering
disebut metafisika. Pemahaman yang baik mengenai masalah-masalah ontologi
merupakan keharusan manakala seseorang ingin memahami secara menyeluruh dunia
tempat dia hidup dewasa ini, terlepas seseorang itu berkcenderungan meyakini bahwa yang benar itu
adalah dualisme, materialisme, idealisme, skeptisisme, ataupun
agnotisisme.
Pandangan
ontologi secara praktis akan menjadi masalah utama di dalam pendidikan. Sebab,
anak bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk
mengerti sesuatu. Anak-anak, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu
menghadapi realitas (kenyataan), objek pengalaman : benda mati, benda hidup.
Bagaimana asas-asas pandangan religius, keagamaan tentang adanya
makhluk-makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehidupan dan
kematian dapat dimengerti. Begitu pula realitas semesta, dan eksistensi manusia
yang memiliki jasmani dan rohani. Bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan
Maha Pencipta.
Memang
bukanlah tugas dan kewajiban lembaga pendidikan (sekolah/madrasah) semata-mata
membimbing pengertian anak-anak untuk memahami realitas dunia yang nyata ini.
Sekolah berkewajiban untuk membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal
atas realitas itu. Ini berarti realitas itu sebagai tahapan pertama, sebagai
stimulus untuk menyelami kebenaran. Potensi berfikir kritis anak-anak wajib
dibina secara sistematis untuk mengerti kebenaran itu. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan
di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat, tata sosial dan
pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir
yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidikan
melalui latar belakang ontologis ini
ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis.
Lampiran
: 1
TIGA CABANG FILSAFAT
1. ONTOLOGI
(TEORI TENTANG HAKIKAT)
- DUALISME
- MATERIALISME
- IDEALISME
- SKEPTICISME
- AGNOTICISME
2. EPSITEMOLOGY 3. AXIOLOGY
(TEORI TENTANG PENGETAHUAN) (TEORI TENTANG NILAI)
Lampiran : 2
empat unsur filsafat
IV. ontologi:
![]()
Filsafat praktis
III. ilmu: I. metafisika
Di mana
garis batas
Apa yang pada
pengetahuan? hakikatnya nyata ?
filsafat teoretis
II. logika:
Bagaimana kita memahami makna kata-kata ?
|
[1]
Bakry, Hasbullah, Sistematika
Filsafat, Jakarta , Widjaya, 1981, hal. 11.
[2] Anshari,
Endang Saefudin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya , Bina Ilmu, 1985,
hal. 94-95.
[3]
Saefullah H.A., Ali, Filsafat dan Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1403 H., hal. 187.
[4]
Saefullah H.A., Ali, Filsafat dan Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional, 1403 H., hal. 190.
[5]
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum Akal dan HAti sejak Thales sampai James, Bandung ,
Remaja Rosdakarya, 1990, hal. 32.
[6]
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, hal. 33.
[7]
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, hal. 34.
[8] Bakry,
Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta ,
Widjaya, 1981, hal. 44.
[9] Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta ,
Widjaya, 1981, hal. 12.
[10] Kattsof, Louis
O., Pengantar Filsafat, terj., Yogjakata, Tiara Wacana, 1992, hal.
216-235.
[11] Bakry,
Hasbullah, Sisematika Filsafat, 1981, hal. 45.
[12]
Bakry, Hasbullah, Sistematika
Filsafat, Jakarta , Widjaya, 1981, hal. 47-48.