Sinopsis Singkat Pemikiran Para Filsuf
Sinopsis Singkat
Pemikiran Para Filsuf
Thales (+ 585 SM) :
“Segala sesuatu
penuh dengan dewa” (kosmologi naturalistik). Air adalah prinsip pertama
(kesatuan/monistik di balik keberagaman dunia).
Anaximander (+ 611-546 SM; pendiri Astronomi) :
Seorang
metafisikawan monistik naturalistik yang meyakini bahwa substansi pertama
adalah “Yang Tak Terbatas” : kesatuan primitif semua substansi.
Pythagoras (586-500 SM; pendiri komunitas persaudaraan rahasia) :
Kunci pemahaman
tentang semesta terletak pada angka-angka, karena segala sesuatu adalah angka.
Siddharta Gautama (+ 563-483; pendiri agama dan filsafat Buddha) :
Empat kebenaran
mulia: (1) Hidup adalah dukkha (penderitaan); (2) Sebab dari penderitaan adalah
tanha (hasrat/kehendak dan kelekatan dengannya, yang darinya muncul ego); (3)
Penderitaan dapat diatasi dengan memutuskan tali kelekatan; (4)
Hal itu dapat
dilakukan dengan mengikuti Delapan Jalan Kebaikan, yaitu: (1) Samma-ditthi
(pengertian yang benar); (2) Samma-sankappa (maksud yang benar); (3) Samma-vaca
(bicara yang benar); (4) Samma-kammarta (laku yang benar); (5) Samma-ajiva
(kerja yang benar); (6) Samma-vayama (ikhtiar yang benar); (7) Samma-sati
(ingatan yang benar); dan (8) Samma-samadhi (renungan yang benar). Segala
sesuatu saling berhubungan dan dalam keadaan mengalir.
Lao Tse (+ abad ke-6 SM; pendiri Taoisme):
Menekankan
kesederhanaan dan keselarasan irama alam semesta. Kebahagiaan hanya diperoleh
dengan kehidupan yang selaras dengan Tao, yang merupakan sumber impersonal
segala sesuatu, sekaligus alam yang berubah secara spontan. Berjasa atas
ide-ide pokok Tao Te Ching (Jalan Kehidupan).
Socrates (470-399 SM):
Muak akan
barang-barang material dan paham umum tentang kehidupan yang sukses. Ia mencari
sophia, filsafat. Meskipun menyatakan hanya mengetahui satu hal yaitu bahwa ia
tidak mengetahui apa-apa, ia sangat disegani karena kemampuannya dalam
perdebatan dengan mematahkan argumen-argumen retoris dan cacat dari lawan-lawan
debatnya yang merasa dirinya serba tahu.
Demokritus (+ 460-370 SM; pendiri atomisme Yunani):
Segala sesuatu
yang ada terdiri dari ruang dan partikel-partikel kecil yang tak terhingga, tak
terbagi, bersifat material yang disebut atom. Perbedaan benda-benda merupakan
perbedaan bentuk, gerakan dan kedudukan dari atom-atom. Materi bersifat abadi
dan energi tersimpan dalam sistem.
Plato (429-437 SM; pendiri sekolah filsafat Academia di Athena):
Kenyataan
terdiri dari dua lapisan: dunia jasmani yang senantiasa berubah serta tak dapat
diketahui dan dunia akali (ide/forma) yang abadi, tidak berubah dan dapat
diketahui. Tujuan filsuf baginya adalah mencapai dunia kedua untuk memperoleh
pengetahuan mengenai pengada-pengada seperti forma segitiga, keindahan (yang
dipertentangkan dengan tiruan-tiruan duniawinya dari forma tersebut) dan
keadilan (yang bertentangan dengan sistem yang tidak sempurna, seperti salah
satunya yang menjatuhkan hukuman mati pada Socrates).
Aristoteles (384-322 SM; pendiri sekolah filsafat Lyceum):
Sangat peka
terhadap perkembangan historis ide-ide, khususnya mengenai akal sehat, dan
berusaha menghindari pola-pola yang ekstrem dalam filsafat. Raksasa pemikir
Barat ini menguasai sekaligus mengembangkan sebagian besar cabang ilmu
pengetahuan di zamannya dan meninggalkan pengaruh yang berkelanjutan dalam
filsafat dan sains di kemudian hari. Ilmu logikanya
masih diajarkan di universitas-universitas pada zaman ini. Dalam metafisikanya
ia menolak pemisahan forma-forma Plato melalui analisis-analisisnya tentang
materia, patensialitas, substansi, dan dunia teleologis secara umum. Dalam
etika dan filsafat sosial, ia dikenal mempertahankan ajaran tentang posisi
“tengah-tengah” dalam perbuatan manusia dimana ia menekankan keutamaan dan
tanggung jawab moral, khususnya pada situasi-situasi tertentu dimana “keputusan
terletak pada persepsi”.
Epicurus (341-270 SM, pendiri aliran Epicurianisme):
Epicurianisme
adalah suatu cara hidup menempatkan kesenangan sebagai tujuan utama manusia,
dan menganjurkan pencapaiannya yang maksimal dengan penderitaan yang seminimal
mungkin dengan jalan menekan keinginan-keinginan yang “tidak perlu”, membangun
persahabatan, dan menghilangkan ketakutan terhadap dewa-dewa maupun kematian.
Marcus Tulius Cicero (106-43 SM; orator dan
negarawan Romawi yang memiliki minat besar pada filsafat): Dalam teori
politiknya, ia dikenal dengan keyakinannya pada hak asasi manusia dan
persaudaraan antarmanusia. Dalam bidang etika, ia tertarik pada ajaran Stoa.
Lucretius (+ 99-55 SM; penyebar ajaran atomisme Epicurus):
Mengikuti
Epicurus dalam materialisme tanpa syarat dan bahkan lebih jauh menolak agama
dengan segala kejahatan yang dihasilkannya. Marcus Aurelius (121-180 M; kaisar
Romawi 161-180 M): Karyanya berjudul Aphorisme (ungkapan-ungkapan bijak) berisi
refleksi umum yang menunjukkan pengaruh Epictetus yang bernada Stoa. Ajarannya
antara lain tentang rasa cukup diri individu menghadapi permusuhan, semesta dan
kewajiban menjalankan tugas.
Plotinus (205-270; neo-Platonis terbesar):
Meyakini bahwa
realitas ini muncul dari sumber yang bersifat transenden dan tak terlukiskan
yang disebut Yang Esa. Yang Esa itu melampaui ada, dan segala sesuatu muncul
dari dari-Nya melalui emanasi. Emanasi pertama adalah Nous (akal), yang kedua
Jiwa-Dunia yang bersamanya jiwa-jiwa manusia muncul, dan yang ketiga adalah
Materi.
Agustinus (354-430; filsuf besar Kristen pertama):
Tuhan sebagai
pengada tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan; bahkan
waktupun belum ada sebelum penciptaan. Kejahatan tidak
diciptakan Tuhan karena pada hakikatnya kejahatan itu tidak ada. Pengetahuan
manusia hanya dapat terjadi melalui pencerahan budi. Namun sejak Adam
tergelincir ke bumi, maka manusia hanya dapat terbebas dari dosa jika
rahmat-Nya memulihkan kekuatan untuk melakukan kebaikan.
Anselmus (1033-1109; pengikut tradisi Agustinian):
Dikenal sebagai
perumus “argumen ontologis” tentang keberadaan Tuhan. Yakni diawali dari
definisi tentang Tuhan sebagai Pengada terbesar yang dapat dipahami yang
bersifat niscaya adanya. Sebab kalau tidak demikian, sangat mungkin berfikir
tentang adanya Pengada yang lebih besar lainnya yang benar-benar ada. Ia menerima
asumsi neo-Platonis bahwa kesempurnaan absolut memuat eksistensi.
Thomas Aquinas (1225-1274):
Mencoba
membangun sintesis antara filsafat Aristotelian dan pemikiran Kristen dimana
kebenaran-kebenaran iman dan rasio saling mendukung dan melengkapi. Dikenal
dengan “lima jalan” pembuktian adanya Tuhan. Metafisikanya membedakan antara
esensi benda (apa-nya) dan eksistensinya (kenyataan bahwa ada). Hukum-hukum
manusia menurutnya harus berdasarkan pada hukum abadi, dimana aturan-aturan
dari Budi Ilahi mengelola alam semesta.
John Duns Scotus (1266-1308):
Menekankan
keunggulan kehendak baik dalam diri Tuhan maupun manusia. Dengan budinya,
manusia mampu membuktikan keberadaan Tuhan sekaligus mengetahui sifat-sifat-Nya
tanpa harus menggunakan analogi-analogi. Budi tidak mampu menjelaskan maksud
Allah dan keabadian jiwa. Aturan dan tatanan etis tidaklah baik secara
intrinsik, melainkan baik karena dikehendaki oleh Tuhan.
William Ockham (1285-1349; ahli logika):
Terkenal dengan
prinsip “pisau cukur Ockham”: bahwa apa yang dapat dijelaskan dengan prinsip
yang lebih sedikit tidak perlu lagi dijelaskan dengan prinsip yang lebih
banyak. Membela nominalisme yang memandang sifat-sifat universal semacam
kelurusan dan kebaikan sebagai bukan esensi suatu substansi, melainkan sekedar
nama dari sifat yang mirip dengan substansi itu.
Francis Bacon (1561-1226; pendiri Royal Society):
“Pengetahuan
adalah kuasa”. Pengetahuan diperoleh melalui pengamatan alam dengan metode
induktif yang sistematis.
Thomas Hobbes (1588-1679 M):
Hanya badanlah
yang ada dengan sifat utamanya berupa gerak. Pikiran adalah gerakan dalam badan
dan dengan mengkaji gerakan badan, kita memahami kenyataan. Dikenal sebagai
bapak Totalitarianisme modern karena mengajarkan bahwa hakikat manusia adalah
berwatak mementingkan diri sendiri sehingga prinsip sosial yang berlaku:
“perang semua melawan semua”, hingga terciptanya masyarakat sipil melalui
kontrak sosial. Para penguasa tidak terikat oleh kontrak tersebut, dan agama
baginya harus berada dalam kontrol negara.
Rene Descartes (1638-1715; rasionalis Perancis):
Cogito ergo sum adalah prinsip
filsafat yang dipercaya paling pasti dan dapat digunakan sebagai dasar untuk
mempertahankan dualisme dan interaksionisme.
Benedict Spinoza (1632-1677):
Mencari
kepastian dengan metode filsafat “geometris”-nya. Menerima monisme dan
panteisme. Hanya Tuhan yang bebas. Tuhan mempunyai dua hakikat/sifat yang
terpisah yang berjalan secara paralel, yaitu: pikiran dan keluasan. Menerima
etika teleologis dan mempertahankan pendirian bahwa kebaikan tertinggi bagi
manusia adalah mengetahui tempatnya sendiri di dalam semesta ini.
John Locke (1632-1704):
Akal budi hanya
mampu mengetahui ide-idenya sendiri. Saat lahir, akal manusia seperti “papan
kosong” yang belum terisi. Semua ide bersumber dari sensasi atau pengalaman
dengan dunia materiil. Dikenal sebagai seorang pembela ide-ide demokrasi.
Nicolas Malebranche (1638-1715; rasionalis Perancis):
Mencoba
mensintesakan pemikiran Descartes dan Agustinus. Menerima dualisme tetapi
menolak interaksionisme dengan mendukung paralelisme psiko-fisik. Akal budi
tidak dapat melihat adanya hubungan niscaya antara sebab dan akibat dalam
peristiwa alamiah, karena Tuhan-lah sebab yang sebenarnya dari segala sesuatu.
Sebab-sebab alamiah tak lebih dari “kesempatan” bagi aktivitas kausal Tuhan.
Gottfried Leibniz (1646-1716; rasionalis Jerman):
Realitas
terdiri dari monad-monad (unit-unit kekuatan) yang tak terhingga jumlahnya,
yang “tanpa jendela”, “cermin yang hidup”. Monad-monad tersebut bertindak
karena sebab-sebab internal dimana sebab finalnya adalah prinsip dasar memadai
(Tuhan dan kehendak-Nya untuk menciptakan dunia yang terbaik dari segala
kemungkinan).
George Berkeley (1685-1753; empirisis dan
idealis subyektif):
Dengan menyatakan esse est percipi, ia
meyakini bahwa objek persepsi bukanlah substansi material, melainkan ‘ide-ide”
atau kumpulan sensasi yang tidak mungkin ada tanpa dipersepsi. Ide-ide yang
dipersepsi adalah persepsi yang dalam budi Tuhan dikomunikasikan kepada kita.
Francois-Marie Arouet De Voltaire
(1694-1778):
Filsuf dan novelis Perancis yang kerap
diidentikkan dengan Penyerangan. la diingat hingga zaman ini, terutama karena
serangan-serangannya terhadap optimisme filosofis, terutama pernyataan Leibniz
bahwa dunia ini adalah “dunia terbaik yang mungkin ada”. la juga dikenal karena
serangannya yang melecehkan gereja katolik, hirarki, doktrin-doktrin kristen,
fanatisme, serta karena kampanyenya yang menuntut reformasi osial dan yuridis.
Dia seorang deis, yang membela adanya Tuhan, yang membuat dunia dengan tujuan
tertentu. la mempercayai adanya rahmat umum, dan menekankan doa tidak mengubah
hukum alam yang abadi, tidak pula menolak derita.
David Hume (1711-1776):
Empirisis dan skeptis asal Skotlandia ini
berpandangan bahwa semua ide berasal dari kesan. Tidak ada kesan mengenai sebab
dan akibat, maka tidak memiliki pembenaran rasional untuk menyimpulkan bahwa
masa depan akan seperti masa lampau. Tidak ada kesan
terhadap diri, tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan.
Jean Jacques Rousseau (1712-1778):
Filsuf, ahli
teori politik, dan novelis, yang membandingkan antara artifisialitas,
kemunafikan, dan penipuan masyarakat pada zaman itu dengan keutamaan,
kesederhanaan, dan kepolosan primitif orang-orang biadab yang luhur. Masyarakat
seringkali sekadar untuk memperoleh kebebasan dengan cara menerima belenggu,
yang menukar ketidakadilan moral dan politik dengan ketidakadilan fisik atau
natural. Dalam kontrak sosial, idealnya semua anggota masyarakat mengalihkan
seluruh haknya kepada komunitas atau “kehendak umum”, suatu kehendak bersama
guna menjaga pemeliharaan dan kesejahteraan dari keseluruhan dan masing-masing
bagiannya. Aktivitas yang sesuai dengan kehendak inilah yang dapat disebut
sebagai adil.
Immanuel Kant (1724-1804):
Dialah filsuf
Jerman yang membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisisme. Akal budi
aktif dalam persepsi dan tindakan tersebut membantu membentuk dunia yang kita
alami dan ketahui. Benda-benda dalam dirinya sendiri, terlepas dari pengalaman,
tidak dapat diketahui. Dalam bidang etika, Kant adalah seorang deontolog
yang meyakini bahwa kewajiban kita adalah menaati prinsip-prinsip yang secara
universal dapat diterapkan kepada semua pengada rasional tanpa kontradiksi.
G. W.F. Hegel (1770-1831, filsuf Jerman, pendiri Idealisme Absolut):
Baginya, “yang
riil adalah yang rasional” dan “akal budi adalah prinsip formatif dari semua
kenyataan”. Tujuan sejarah adalah pembebasan Roh dari keterikatannya dalam alam
guna mencapai “Yang Absolut”, kesatuan organis yang meliputi segala sesuatu dan
sadar diri. Individu sebagai individu tidaklah penting. la terkenal karena
analisis dialektisnya tentang sejarah dan ide-ide, dimana ia merunut bagaimana
suatu pendirian atau lembaga yang terdahulu dirongrong dan mengarah untuk
melampaui dirinya sendiri dan menuju sintesis baru.
Arthur Schopenhauer (1788-1860):
Idealis Jerman
yang pandangan hidupnya sangat pesimistis. baginya, “kehendak untuk hidup”
merupakan realitas fundamental. Ketika terperangkap dalam kehendak untuk hidup,
maka manusia menghabiskan hidupnya dalam keterombang-ambingan antara
keinginan-keinginan yang menyakitkan dan usaha melepaskan diri dari derita,
yang pada akhirnya hanya akan melahirkan kebosanan. Normalnya, akal budi
mengabdi kehendak yang buta dan gelisah ini, tetapi ia dapat melepaskan diri
dan melibatkan diri pada kontemplasi estetis. Dalam saat-saat kontemplasi
semacam itulah sebenarnya kita benar-benar bebas. Semua fenomena, termasuk
tubuh manusia, tidak lain adalah “kehendak yang diobjektifkan”.
John Stuart Mill (1804-1873):
Dikenal luas
karena mengembangkan dan menyebarkan ajaran etika utilitarianisme.
Mempertimbangkan kualitas, di samping kuantitas, dari konsekuansi-konsekuensi
yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Ia membela kebebasan dengan
menegaskan “satu-satunya tujuan dimana manusia dijamin, secara individual
maupun kolektif, dalam mencampuri kemerdekaan orang lain adalah perlindungan
diri”. Ia
membela gerakan
feminisme, yang menentang adanya pembatasan terhadap wanita baik secara legal
maupun sosial.
Soren Kierkegaard (1813-1855):
Filsuf Denmark,
bapak eksistensialisme. Tugas paling berat setiap orang menurutnya adalah
menjadi seorang individu. Menjadi individu berarti mengenali keunikannya
sendiri, menghadapi keharusan untuk mengambil keputusan sendiri, dan terutama melakukan
“lompatan iman’”.
Karl Marx (1818-1883):
Bersama
Frederich Engels mendirikan tradisi “kiri” dalam pemikiran politik.
Mengkombinasikan aspek-aspek dialektik Hegel dengan materialisme atheis
Feuerbach, dan menyatakan bahwa hanya melalui revolusi kaum pekerjalah orang
dapat menerima emansipasi. Karya-karya awalnya menunjukkan perhatian yang
sangat dalam kepada akibat industrialisasi yang memerosotkan martabat manusia.
Dengan revolusi, secara ideal akan muncul masyarakat tanpa kelas, pergantian
dari milik pribadi menjadi kepemilikan komunal, dan secara perlahan terhapusnya
negara.
Charles Sanders Peirce (1839-1914):
Bapak filsafat
Amerika dan pendiri pragmatisme mengatakan, “Tidak ada perbedaan makna yang
sedemikian jelas dalam segala sesuatu selain perbedaan pelaksanaan (praktis)”.
la menerapkan teori makna pragmatis ini secara luas dalam kegiatan ilmiah dan
praktis. Berpendapat bahwa ilmu pengetahuan menawarkan satu-satunya metode yang
sesuai untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia. Seluruh keyakinan kita pada
dasarnya dapat salah dan selalu dapat direvisi berdasar pada bukti-bukti yang
tidak lengkap dan berubah-ubah.
William James (1842-1910):
Mempopulerkan
pragmatisme, khususnya dalam bidang moralitas dan kepercayaan agama. Jika
konsekuensi-konsekuensi psikologis, moral, dan/atau sosial dari suatu keyakinan
itu baik, maka keyakinan tersebut dapat disebut rasional, meskipun tidak dapat
dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. “Kebenaran hanyalah jalan yang berguna dalam
cara berpikir kita, sebagaimana hak hanyalah jalan yang berguna dalam cara
berperilaku kita”. Artinya, kebenaran tergantung pada apakah keyakinan kita
dapat berfungsi dan diterapkan dengan baik atau tidak.
Friedrich Nietzsche (1844-1900):
Filsuf Jerman
yang sering dimasukkan sebagai seorang eksistensialis karena penekanannya pada
individu dan penolakannya terhadap massa, dan juga setiap pandangan tentang
kebenaran dan nilai tersebut. Prinsip metafisik fundamentalnya adalah kehendak
untuk berkuasa (will to power). Menurutnya, ada dua jenis nilai dalam kehidupan
manusia, yaitu nilai-nilai yang diciptakan oleh golongan Iemah (”moralitas
budak”) dengan menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan semacam belas kasih, cinta
altruisme, dan kelemahlembutan, serta nilai golongan kuat (”moralitas tuan”)
dengan keutamaan semacam kekuatan dan keberanian. Konsep Nietzsche tentang
‘manusia super’ akan menciptakan nilainya sendiri dan menegaskan kehidupan.
Menolak anti-Semitisme dan mereka-mereka yang dijuluki sebagai “lembu-lembu
terpelajar” yang telah menginterpretasikan “manusia super” dalam pengertian
biologis.
Francis Herbert Bradly (1946-1924):
Percaya akan
adanya sesuatu yang Absolut dan terbebas dari semua kontradiksi. Pikiran tidak
mampu memahami kenyataan tertinggi. Menolak formalisme kosong Kantian tentang
“kehendak baik”. Mengidentikkan kehendak baik tersebut dengan kehendak
universal, kehendak dari organisme sosial. “Lingkungan saya dan
kewajiban-kewajibannya memberi isi bagi kehidupan moral saya.”
Josiah Royce (1855-1916):
Sangat
dipengaruhi oleh absolutisme Hegelian, namun juga menaruh simpati cukup dalam
terhadap pragmatisme, Royce mengembangkan perpaduan yang unik antara keduanya.
Menekankan individualisme diri manusia, sekaligus menyadari bahwa diri
individual manusia merupakan bagian dari komunitas diri-diri yang Iebih
luas–teman, keluarga, rekan kerja– yang masing-masing menginterpretasikan diri
kepada yang lain. Mencoba menerjemahkan ide-ide kristen tentang dosa dan
pengampunan kedalam istilah-istilah komunal dan menawarkan suatu cara untuk
mengatasi penyakit yang terlalu berpusat pada diri sendiri, alienasi, dan
kejahatan, melalui kesetiaan kepada Komunitas Besar/Tercinta.
Edmund Husserl (1859-1938; filsuf Jerman, pendiri fenomenologi):
Menelaah
intensi-intensi sadar subjek melalui investigasi ekstensif. Menekankan
deskripsi murni terhadap objek atau tindakan apapun yang tampak atau nyata
dalam medan kesadaran, misalnya karya seni, angka, pertimbangan, imajinasi.
Metode dan deskripsinya telah diterapkan pada dasar-dasar logika, psikologi,
ilmu-ilmu sosial, analisis teks sastra, dan juga seni.
Henri Bergson (1859-1940):
Filsuf
Perancis, kadang-kadang dijuluki “filsuf proses” yang menekankan nilai penting
dari perubahan evolutif oleh sebuah daya kreatif (elan vital). Menolak
pandangan ekstrem dualisme maupun materialisme, dan menyatakan bahwa suatu
metafisika yang tepat bagi kita harus mencakup pengalaman tentang waktu yang
berkelanjutan dan mengalir sekaligus harus menghindari perangkap pola
mekanistik atau waktu “jam” yang tersusun atas kumpulan momen-momen yang
terpilah. Dalam epistemologi, banyak menekankan intuisi dan keterbatasan
pengetahuan intelektual.
John Dewey (1859-1952):
Pemuka gerakan
pragmatisme dalam konteks luas di Amerika ini memahami tujuan utama filsafat
adalah menyelesaikan persoalan masyarakat demokratis dengan menggunakan metode
ilmiah. Mengajarkan falibilisme dan mempertahankan demokrasi atas dasar bahwa
demokrasi menyediakan kemungkinan kondisi terbaik untuk memperbaiki
kesalahan-kesalahan kita dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi
manusia pada umumnya. Dalam pendidikan menekankan pentingnya mengembangkan
kemampuan intelektual dan keterampilan praktis daripada semata-mata
menghafalkan fakta-fakta.
Alfred North Whitehead (1861-1947):
Metafisikawan
terbesar sekaligus pendukung utama filsafat proses ini menekankan sebuah semesta dimana perubahan, kreativitas,
dan saling ketergantungan tercermin dalam pengalaman langsung. Proses adalah
perkembangan kreatif dimana semua kejadian “kesempatan-kesempatan aktual”
muncul, berkembang dan mati melalui penyerapan kedalam keturunannya. Perubahan
yang tertata tersebut dimungkinkan melalui interaksi dengan alam objek-objek
abadi. Tuhan mempengaruhi dunia, dan sekaligus dipengaruhi olehnya.
Bertrand Russel (1872-1970):
Bersama Whitehead
mengembangkan sistem logika simbol yang revolusioner, dan ia menyatakan bahwa
logika adalah dasar bagi matematika sekaligus metode paling tepat bagi
filsafat. Teorinya tentang deskripsi dan denotasi merupakan paradigma bagi
analisis logis, yang menunjukkan bagaimana para filsuf dapat terseret oleh
kesalahan logis ke dalam pandangan metafisik keliru. Metafisika atomisme
logisnya ditarik dari sistem logikanya sendiri. Dalam epistemologi, ia dikenal
karena dukungannya yang kuat terhadap empirisisme, pembedaannya antara
pengetahuan karena pengenalan dan pengetahuan karena deskripsi, serta klaimnya
bahwa objek-objek fisik adalah hasil konstruksi logis dari data inderawi.
George Edward Moore (1873-1958):
Menolak
idealisme neo-Hegelian dan menggantikannya dengan suatu filsafat akal sehat
yang realistis. Proposisi-proposisi akal sehat tentang waktu, ruang, objek
material, dan orang diketahui kebenarannya secara pasti. Tugas filsuf adalah
menganalisis makna proposisi-proposisi tersebut. Ia dikenal pula sebagai
seorang tokoh perintis analisis bahasa.
Karl Jaspers (1883-1969; eksistensialis Jerman):
Manusia dalam
pemikirannya secara ideal mencari transendensi, mengatasi diri sendiri serta
rutinitas keseharian yang monoton. la melukiskan batas-batas tentang persoalan
transendensi diri, yang dipahami sebagai kematian, penderitaan,
perjuangan/cinta, dan rasa bersalah. Hal-hal tersebut berperan sebagai sumber
tema-tema utama sebagian besar komunikasi dan interaksi manusia, sebagaimana
terdapat dalam karya-karya sastra. Hal-hal tersebut merupakan sumber makna
kehidupan. Ketika transendensi diri gagal dalam skala besar, kita akan
menemukan kecenderungan-kecenderungan atau gerakan massa yang irasional,
seperti totalitarianisme.
Ludwig Wittgenstein (18S9-1051):
Tokoh yang belajar
dan mengajar di Inggris ini dikenal sangat mempengaruhi filsafat analitis dan
linguistik abad XX. Pada awalnya ia mencurahkan pemikiran pada dasar-dasar
matematika dan hakikat representasi linguistik. Mengembangkan sebuah teori
gambar tentang bahasa, dan membedakan secara tajam antara apa yang dapat
dikatakan secara persis (wilayah ilmiah) dan apa yang hanya dapat ditunjukkan
secara mistik (wilayah mistik). Ide-idenya juga sangat berpengaruh kepada para
positivis logis dengan pandangannya bahwa pernyataan matematis adalah
tautologi, dan bahwa teori-teori metafisik melanggar batas-batas ucapan yang
bermakna. Pemikirannya pada masa-masa akhir banyak yang menyangkal de-idenya
terdahulu. Makna adalah penggunaan dalam permainan bahasa. Kata-kata tidak memperoleh
makna dengan menunjuk esensi universal, melainkan lebih-lebih dapat diterapkan
atas dasar kemiripan hubungan yang longgar sifatnya, dan bahwa tidak ada bahasa
pribadi yang dapat menunjuk pada pengalaman akal budi yang ada di dalam diri
dan tak dapat dijangkau publik.
Gabriel Marcel (1889-1964):
Fenomenolog dan
eksistensialis Perancis ini mengkonsepsikan tugas filsafat sebagai upaya
melukiskan apa artinya berada dalam suatu situasi kongkret, dengan sedapat
mungkin menghindari abstraksi-abstraksi, stereotip-stereotip, serta norma-norma
statistik. Eksistensi manusia memiliki sejumlah kunci atau rujukan pada
“misteri pengada” (seluruh realitas), yang tidak tercakup oleh sistem pemikiran
apapun juga. Di antara kunci-kunci ini adalah tubuh manusia, pertentangan
memiliki vs menjadi, komitmen, partisipasi vs penonton, kesetiaan kreatif,
serta perjumpaan dengan orang lain sebagai pribadi dan bukan sekedar sebagai
objek.
Martin Heidegger (1889-1976):
Dikenal sebagai
seorang fenomenolog Jerman yang juga tekun mengembangkan berbagai tema
eksistensialisme. Manusia menurutnya adalah sebuah “ada di dunia”. Melalui
partisipasi dan keterlibatan di dalamnya, dunia membentuk ada kita. Eksistensi
kita ditandai oleh tiga bentuk dasar: faktualitas (keterlibatan kita dalam dunia),
eksistensialitas (proyek sepanjang waktu untuk merangkum ketegangan antara kita
yang dulu dan kita yang mungkin ada), dan kejatuhan (kecenderungan untuk hanya
sekedar hidup tanpa mewujudkan potensi kita). Melalui kegelisahan kita bertemu
dengan ketiadaan dan keterbatasan, namun melalui kebebasan dan kebutuhan untuk
memilih kita dapat maju kearah eksistensi yang autentik.
Gilbert Ryle (1900-1976):
Filsuf
linguistik Inggris yang dikenal karena serangannya tehadap pemahaman dualistik
Cartesian tentang jiwa.
Jean-Paul Sartre (1905-1980):
Terkenal karena
mempopulerkan eksistensialisme melalui tulisan, drama, novel, dan cerpen yang
dibuatnya. la menyangkal adanya “hakikat” manusia yang ada mendahului pilihan
individual. Individu menciptakan hakikat mereka sendiri melalui pilihan dan
tindakan bebas mereka. Eksistensi mendahului esensi. Meskipun mengenali
masalah-masalah yang dibuat individu satu sama lain dengan maksud jahat
–”Nerakalah orang lain”– ia memfokuskan perhatiannya pada bagaimana struktur
ciptaan manusia semacam lembaga-lembaga dapat secara serius membatasi dan
melemahkan kebebasan.
Simone de Beauvoir (1908 - …):
Eksistensialis,
novelis, dan feminis Perancis yang menjadi terkenal karena analisisnya mengenai
bagaimana kaum perempuan telah disingkirkan secara sistematis dalam peran
mereka sebagai “yang lain” dan mengenai akibat buruk cara pendidikan anak
perempuan. Menyoroti bagaimana masyarakat beserta lembaga dan struktur yang ada
dapat menghambat kesadaran diri dan kebebasan individu. Mengecam orang yang
mencoba menyembunyikan kebebasannya dari dirinya sendiri, atau orang yang
menolak bertindak menurut kebebasan dan kebebasan orang lain; semua itu
dianggapnya tak bermoral.
Alfred J.Ayer (1910-…):
Filsuf Inggris,
anggota Lingkaran Wina selama tahun 1920 hingga 1930-an, yang membawa ide-ide
para positivis logis ke dunia bahasa Inggris. la memenangkan prinsip
“verifiabilitas”, yang menuntut bahwa agar sebuah proposisi bermakna, ia harus
dapat diverifikasikan secara empiris. Pernyataan matematis adalah tautologi
yang tidak memberikan keterangan apapun kepada kita tentang dunia. Ungkapan
etis tidak lebih dari ekspresi emosi. Pernyataan religius dan metafisik adalah
ekspresi tak bermakna dan kosong dari isi kognitif.
Albert Camus (1913-1960):
Filsuf eksistensialis, jurnalis, dan
novelis Perancis keturunan Aljazair ini membaca alam raya sebagai sosok yang
angkuh dan tak peduli terhadap keprihatinan dan nilai-nilai manusia. Baginya
perlu dipertahankan: pertentangan antara dunia yang tanpa makna ini dengan tuntutan
manusia akan makna yang tak terpuaskan. la menolak bunuh diri dan lompatan iman
yang mempostulatkan adanya makna, padahal sebenarnya tidak ada makna.