NYANTRI
NYANTRI
Aku lulus dan mendapatkan
ijazah SD Negeri 2 Sumber Cirebon. Akhir
bulan itu aku pergi ke Pesantren Babakan Ciwaringin ikut mengantarkan teman
(tetangga depan rumahku di Desa Sumber) yang ingin nyantri di Pesantren Roudhotut
Tholibin Babakan Ciwaringin.[1] Layaknya pengantar calon
santri baru, aku pun ikut mengiringi temanku menghadap dan meminta restu para
kyai serta tidak lupa minta diterima menjadi santri baru, sebelum nantinya kami
pun harus melakukan pendaftaran secara administrative di kantor pesantren.
Diantara para kyai yang kami kunjungi adalah (almarhum) KH. Masduki Ali.[2] Setelah berceita romantika
calon santri baru sambil memandangiku
akhirnya belaiu bertanya “ Teja, apakah kamu nanti kerasan? Mengingat usia dan postur tubuhku waktu masih
sangat kecil menurut beliau sebaiknya
aku berfikir ulang dan harus lebih menguatka tekad. Namun, alhamdlillah,
aku dikaruniai kekuatan untuk krasan dan betah nyantri di pesantren Babakan Ciwaringin sampai degan tamat MAN
Babakan Ciwaringin (Juni 1983).
SANTRI BARU
Tradisi yang diberlakukan oleh
santri-santri senior kepada para santri baru adalah tradisi plontos sebagai
bukti sang santri diterima sebagai santri. Para santri senior di pondok C
umumnya dan sahabat-sahabat yang kebetulan satu desa dengan saya juga
menganjurkan saya untuk cukur plontos. Bahkan mereka sempat berkomentar bahwa,
berani-beraninya Tejo menghadap KH. Masduki ddengan rambut gondrong melebihi
bahu apalgi baru berumur sekolah dasar. Tetapi, tradisi itu tidak berlaku bagi
saya. Bahkan ketika mulai mengikuti pembelajaran di MHs pun rambutku masih
gondrong. Ruang belajar yang pertama kali aku masuki adalah Madrasah Hikamus
Salafiyah (MHS).
Beberapa hari kemudian, aku
diberi kesempatan mendaftar dan diterima di MTs Negeri Babakan Ciwaringin.
Beberapa nama yang sangat berkesan ketika mengalami pembelajaran di MTs Negeri
antara lain: KH. Fuad Amin (guru Nahwu
dan pengasuh santri dalam Ushul Fiqh (waraqat), nahwu (alfiyah), fikih
(Fathul Mu’in) dan alhaq (‘Idzotun Nasyiin), Ny. Hj. Fariah Amin (duru
Qowa’id), Drs. H. Azhari Amin, KH. Sulaiman (uru fikih), Drs. Karyadi (guru
Nahwu dan Bahasa Arab), Dra. Mukminah (guru akhlaq), Drs. Sukarma (Guru Bahasa
Indonesia). Disamping itu ada beberapa teman yang sampai sekarang sedikit
banyaknya berperan dalam proses pembentukan karakter kesantrian saya. Sebut
saja sahabat sroil Lathief, Dadang Hamidi, Kosasih, Dedi Jubaedi, serta
guru-guru di pesantren seperti Kang Hasan (Perbutulan), Kang Baedlowi (Sumber),
Kang Sambudi Jengkok (almarhum), dan juga
Kang Jaelani Jengkok Kertasemaya, Sementara senior yang menjadi inspirator
adalah sahabat Mas’ub (UJunsemi), sahabat Masna (Jakarta) dan sahabat Sodik
(Pekalongan).
[1] Tujuan awal saya waktu
pamit kepada orang tua adalah Cuma sekadar mengantar teman yang mau esantren.
Akan tetai, justru saya yang betah dan berlanjut mesantren sedangkan temanku
Cuma satu minggu kemudian boyong.
[2] KH. Masduki, kepada beliau aku belajar langsung ashrifan
setiap bakda shalat shubuh. Selain aku pun mengikuti penajian bandongan kitab
Fathul Qorib tiap bakda ashar.