SUFI-SUFI TERTUDUH
sufi-sufi tertuduh
Tasawuf adalah nuansa baru dalam
(keberagamaan) Islam. Islam telah menentukan secara tegas konsep dan
metode zuhud dengan landasan utama Kitabullah dan al-Sunnah.
Tasawuf hadir memperkuat konsep zuhud dan kaum sufi mereduksi zuhud sebagai sebuah disiplin yang teramat ketat
dalam bentuk perilaku keseharian meninggalkan
orientasi duniawi secara keseluruhan dan hanya berpaling kepada
orientasi ukhrawi. Siapapun tidak
akan menolak konsep zuhud. Berbeda dengan tasawuf yang tidak selalu diterima
oleh semua lapisan masyarakat muslim.[1]
Tasawuf ialah institusi keislaman yang mewakili perilaku
meninggalkan dunia secara totalitas. Tasawuf memiliki eksitensi, gerakan,
sistematika organisasi, landasan formal ajaran, serta rujukan tersendiri.
Tasawuf berhasil menciptakan pemimpin dan pembimbing ruhani sendiri dalam
strutkur yang independen dan ditaati oleh semua murid dan pengikutnya dengan ghirah
dan fanatisme yang tidak terkalahkan
oleh pengaruh-pengaruh luar layaknya sebuah ta’ashub.[2]
Tasawuf dikenal banyak orang dalam dua kategori. Pertama,
tasawuf akhlaqi dianggap memagari
dirinya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah serta menjauhi penyimpangan-penyimpangan
yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Kedua, tasawuf falsafi yang dianggap telah
memasukkan ke dalam ajaran-ajarannya unsur-unsur filosofis dari luar Islam,
seperti dari Yunani, Persia, India dan Kristen serta mengungkapkan
ajaran-ajarannya dengan memakai istilah-istilah filosofis dan simbol-simbol
khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak..
Dunia Islam mengenal tasawuf mulai abad III
Hijriyah dari cara-cara atau perilaku hidup keseharian menjauhkan
diri dari kemewahan materi; lazim disebut escapis atau zuhud. Keasyikan dalam perilaku zuhud kemudian berubah menjadi pola hidup serba
menerima dengan pasrah (ridha’) setiap nasib yang menimpa dan kebiasaan
menyesali diri dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syariat Islam (tawbat). Puncaknya, tradisi itu berubah orientasi menjadi
sebuah proses penyucian jiwa (tazkiyyat al-nafs) dengan tujuan dapat
sampai menuju Allah (wushul). Zuhud, wara’, ridha’ dan tawbat adalah prasyarat bagi seseorang calon sufi
yang hendak melakukan tazkiyyat al-nafs
dengan tujuan untuk mempermudah proses
wushul, ma’rifat Allah, kasyf, dan musyahadah.[3]
Tasawuf, dipandang dari aspek pendidikan
kepribadian, adalah institusi dalam Islam yang telah berjasa dalam upaya
peningkatan kualitas kepribadian muslim sebagaimana yang diajarkan oleh Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Tasawuf mengajarkan setiap diri muslim
untuk berlaku zuhud (tidak tergila-gila terhadap duniawi-materi), taqwallah,
‘iffah (mampu menahan diri dari meminta-minta), qona’ah (sabar
dalam setiap situasi dan kondisi, berusaha membersihkan jiwa), istiqomah dalam keimanan, mencintai rasul Allah dan
orang-orang salih, selalu mengingat Allah (dzikrullah), membiasakan diri
melakukan hal-hal yang disunnahkan secara kontinyu, menyayangi setiap makhluk
ciptaan Allah, sabar, tawakal kepada
Allah dan segala kebaikan serta amal salih yang dapat membantu tercapainya
kesempurnaan keimaman dan keislaman dalam rangka menuju kualitas ihsan.[4]
Namun demikian, kritik dan penilaian negatif
tidak henti-hentinya ditujukan kepada tasawuf dan sekelompok sufi,
terlebih-lebih madzhab falsafi dan
madzhab wujudiyah.[5]
Kritikan datang tidak saja dari kaum orientalis, sekelompok ulama muslim dari Timur Tengah juga terbawa larut
dan asyik mencari-cari kelemahan konsep, teori,
dan praktik-praktik bertasawuf.
Sejumlah kritikus mengalamatkan penilaiannya terhadap beberapa persoalan akidah
dan ibadah yang, bagi mereka, bertentangan dengan al-Kitab dan al-Sunnah.
Akidah sufi dinilai bertentangan dengan al-Qur’an dan kepribadian Rasulullah
SAW sebagai penjelas atas wahyu. Akidah sufi dinilai tidak berdasar kepada
Kitabullah dan al-Sunnah. Sufi mendasarkan keyakinan mereka berdasarkan
pembelajaran melalui ilham dari
guru-guru yang mereka anggap sebagai wali. Sumber akidah, yang menjadi
kebanggan dan keistimewaan kaum sufi tetapi menjadi bahan cemooh sekelompok
ahli, adalah metode kasyf
dan fana’. Bagi para
kritikus akidah sufi dipandang sebagai bentuk penyelewengan dan keterpedayaan
sufi oleh jin dan syaitan.
Para syaikh sufi juga
dituding sebagai kelompok ulama yang tidak memiliki keilmuan memadai dalam
bidang akidah islamiah dan mereka dinilai tidak memiliki tauhid kepada Allah
yang bersih. Bahkan keilmuan para sufi pada umumnya dinilai sebagai keilmuan
yang, secara epistemologis, tidak berdasar karena dalam kalangan sufi sangat
diutamakan tradisi taqlid kepada yang dijadikan guru. Komunitas sufi
lazim dikelompokkan ke dalam kelas masyarakat yang tidak memahami perkembangan
zaman dan hal-hal faktual dalam dunia keilmuan dan pemikiran Islam. Mereka
menganjurkan umat untuk meninggalkan dunia politik dan pemerintahan, tetapi
mereka berharap para penguasa mendatangi mereka demi kepentingan dan tendensi
kelompok dan juga pribadi sang syaikh.[6] Dalam bidang hadits, para
sufi dituduh sebagai kelompok muslim yang
tidak mengerti soal shahih dan dha’if. Kitab-kitab sufi lebih mengutamakan mengambil
hujjah dengan hadits-hadits dh’aif
dan juga mawdhu’ dari hadits-hadits shahih. [7]
Bahkan al-Ghazali pun tidak luput
dari kritik. Sebagai pejuang kasyf dia
dinilai telah keluar dari ketentuan fiqih dan banyak mempergunakan
hadits-hadits dha’if ke dalam Ihya’-nya; dengan tidak
menyadarinya.[8] Kitab-kitab tasawuf karya Ibn ’Arabi, al-Jili,
atau al-Suhrawardi dituding sebagai kitab-kitab yang memasukkan ajaran-ajaran
agama luar Islam seperti Yahudi, kependetaan Nasrani, Manuwiyah, fanatisme
Majusi (agama Persia Kuno), brahmanisme Hindu, ascetisme dan moksha
Budha; dan faham Neoplatonisme ke dalam Islam.[9]
Doktrin-doktrin sufi yang kerap kali
dijadikan bahan kritik negatif adalah
persoalan yang lazimnya tidak dikenal oleh kalangan ahli fiqih ataupun ahli
kalam. Misalnya tradisi halaqah atau majelis dzikir, haflah sirr atau tawajjuh, rabithah[10]
dengan guru sebelum melakukan wasilah,
serta masalah ahwal atau hal,
syathat, kasyf serta keyakinan tentang kemampuan kaum sufi memasuki dunia gaib, ittihad dan hulul.
Komunitas di luar sufi, menuding
doktrin tersebut sebagai penetrasi dari agama Zoroaster, Zaratusta,
Manusiwuyah, Hindu dan agama-agama watsani pada umumnya. Metode tafsir
dan takwil para sufi terhadap ayat-ayat al-Qur’an pun dianggap sebagai bentuk
penyelewengan pemahaman yang keluar dari kaidah-kaidah tafsir dan mencerminkan
ketidaktahuan tentang asbab al-nuzul. Salah satu contoh penyelewengan
pemahaman sufi di antaranya takwil mereka terhadap ayat 35 surat al-Maidah
tentang wasilah yang mereka
yakini sebagai wasilah dengan guru mereka atau tokoh yang mereka anggap wali. [11]
Ibn Taimiyah (w. 1328 H.),[12]
seorang ulama besar yang dibanggakan kaum modernis, mengkritik secara tajam
praktik dan pemikiran sufisme.. Baginya, para sufi itu terbagi dalam tiga
kategori dan tidak semuanya benar. Pertama, adalah kelompok masyayikh
al-Islam, masyayikh al-Kitab wa al-Sunnah dan A’imat
al-Huda, seperti Fudhail ibn ‘Iyad
(w. 803 M.), Ibrahîm ibn Adham (w. 777 M.), Syaqîq al-Balkhi (w.810 M.), Ma’ruf
al-Kurkhi (w. 815 M.), Bishr al-Khafi (w. 841 M.), Sari al-Saqathi (w. 871 M.),
Abu Sulaiman al-Darana (w. 831 M.), Junaid al-Baghdadi (w. 909 M.), Sahl ibn
‘Abdullah al-Tustari (w. 897 M.), ‘Amr ibn 'Usmân al-Makki (w. 904 M.), ‘Abd al-Qadir
al-Jailani (w. 1166 M.), Hammad al-‘Abbas (w. 1130 M.) dan Abû al-Bayan (w.
1156 M.). Mereka adalah kelompok sufi yang
prakteknya tidak bertentangan dengan al-Qur'an, kehidupan dan pengalaman mereka
sesuai dengan syariah; Kedua, adalah kelompok yang mengalami keadaan
yang tidak normal, syathahat (berkata yang lepas kontrol) dan mabuk,
mereka dipandang sebagai orang yang bertentangan dengan syariah, tetapi cepat
atau lambat mereka pulih kembali, contoh dari kelompok ini adalah Abu Yazid al-Busthami
(w. 875 M.), Abu al-Husain al-Nuri (w. 907 M.) dan Abu Bakar al-Syibli (w. 946
M.). Untuk kelompok ini, Ibn Taimiyah tidak berkomentar banyak; Ketiga,
adalah kelompok yang dianggapnya sesat dan bertentangan dengan ajaran Islam,
karena mereka menganut doktrin inkarnasi (hulul) dan wahdat al-wujud,
di antara dari kelompok ini adalah Al-Hallaj (w. 922 M.), Ibn ‘Arabi (w. 1240
M.), Sadruddin al-Qunawi (w. 1273 M.), Ibn Sabi’in (w. 1269 M.), dan Tilimsani
(w. 1291 M.). Kelompok terakhir ini yang mendapatkan kritik tajam dari Ibn
Taimiyah.
Para pakar modern juga banyak
berbeda pendapat tentang hubungan antara tasawuf dengan ajaran Islam. Sebagian
berpendapat bahwa tasawuf adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya
merupakan unsur dari sumber asing. Misalnya, mereka dianggap mewarisi asketisme
(kepasrahan) dan praktik-praktik monastik dari Nasrani; menjalankan peniadaan
diri (fana’) dari Hindu; keinginan untuk mengetahui realitas luhur
melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari gnostisisme; serta
pandangan kegandaan (multiplicity) dari kebersatuan-nya Neo-Platonisme;
dan teosofi monistiknya dari Vedanta India.
Sementara yang lain menentang pandangan di atas. Bagi mereka, tasawuf
adalah fenomena yang sepenuhnya Islami, dan merupakan ekspresi otentik dari
semangat islami. Lebih jauh mereka menjelaskan bahwa kehidupan bersahaja
seperti yang banyak dijalankan kaum sufi adalah meniru (meneladani) kehidupan
Rasul Allah SAW dan para sahabatnya. Sedangkan pengasingan diri dari masyarakat
ramai (‘uzlah) juga sesuai dengan syariah, yaitu membebaskan diri dari
pengaruh kemunduran dan korupsi di pemerintahan. Kecenderungan mereka untuk
berserah diri (tawakkul ‘ala Allah), berdzikir juga sangat dicintai
oleh Rasul Allah. Pandangan teosofis
mereka serta konsep filosofis dari wahdat al-wujud sekalipun, mereka
kemukakan dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits.
Penulis tasawuf awal seperti al-Sarraj (w. 378 H./988 M.), al-Kalabadzi (w.
390 H./1000 M.), Abu Nu’aim (w. 430 H./1038 M.), dan al-Qusyairi (w. 465
H./1072 M.) menandaskan bahwa tasawuf merupakan ekspresi murni tentang ekspresi
rohani ajaran Islam. Ia merupakan perwujudan yang teramat sempurna dari
nilai-nilai ruhaniah.[13]
Mereka mengemukakan bahwa kaum sufi mempunyai keyakinan sebagaimana yang
dirumuskan oleh para ahli ilmu kalam (teologi).[14]
Mereka juga mengikuti aturan sebagaimana yang dirumuskan oleh para fuqaha’
(ahli hukum Islam), dengan metode dan pengalaman yang sepenuhnya sesuai dengan al-Qur’an
dan al-Sunnah.[15]
Mereka tafsirkan dan rujukkan ucapan kaum sufi yang terlihat kurang taat-asas (inkonsisten),
dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai. Al-Kalabadzi khususnya mencoba
menunjukkan bahwa kepercayaan yang dipegang orang-orang sufi tidaklah berbeda
dengan kepercayaan Ahl al-Sunnah.
Hal ini sebagaimana tergambar dalam ulasan al-Sarraj
bahwa sufi adalah wakil Allah di bumi, wali-wali dari rahasia-Nya dan
pengetahuan-Nya serta ciptaan-Nya yang terbaik. Mereka itu adalah pilihan
Tuhan, teman-teman yang mulia dan orang-orang yang paling dicintai; muttaqun,
sabiqun, abrar, muqarrabun, abdal dan siddiqun semuanya berasal dari
mereka. Orang-orang sufi tidak memilih salah satu cabang ilmu pengetahuan dan
meninggalkan yang lainnya (seperti orang-orang yang hanya menekuni hadits,
fiqh dan zuhd). Mereka benar-benar membatasi diri mereka sendiri
untuk mencapai beberapa ahwal wa maqamat. Mereka adalah sumber berbagai
macam ilmu pengetahuan dan perwujudan dari sublimasi semua kebajikan (akhlaq
al-syarifah), lama seindah yang baru.[16]
Pemikiran tasawuf al-Ghazalî, bagi generasi penerusnya, dianggap telah maju
jauh ke depan. Selain mencoba menafsirkan tasawuf dan mencoba merujukkannya
pada ajaran Islam, sebagaimana juga dilakukan para pendahulunya, ia juga
mencoba menafsirkan ajaran Islam dengan titik pandang, pengalaman dan praktek
sufi. Ia menegaskan bahwa apabila Islam dipahami dengan baik maka
pelaksanaannya juga tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para guru
sufi. Inilah yang dilakukannya dengan karya terbesarnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Hasilnya adalah bahwa apa yang dianggap terbaik oleh ajaran Islam adalah
identik dengan tasawuf.[17]
Karya ‘Abd. al-Qadir al-Jaylani (w. 561 H./1166 M.) dan Syihab al-Din al-Suhrawardi
(w. 632 H./1234 M.) meneguhkan dan memperkuat citra di atas. Namun demikian,
mereka sendiri mendisasosiasikan diri dengan aspek spekulatif dari karya al-Ghazalî.
Ibn ‘Arabi mengikuti langkah al-Ghazali, dan melaksanakan tugas lebih jauh
dalam penafsiran kepercayaan dan praktik Islam dalam titik pandang pengalaman
dan intuisi sufi. Ibn ‘Arabi telah memainkan fungsi ini dalam skala
besar dalam karyanya yang panjang lebar, al-Futuhat al-Makkiyah. Di
sini, ia menginterpretasikan kepercayaan Islam secara keseluruhan dan
mempraktekkannya sendiri dengan sudut pandang filosofinya wahdat al-wujud.
Ia juga memberi interpretasi lain yang lebih dekat dengan pandangan tokoh
muslim pada umumnya (penerimaan teologi). Hal ini sebenarnya tidak mewakili
pemikiran Ibn ‘Arabi yang sesungguhnya. Suatu pemaparan yang lebih jelas,
khususnya pada pokok masalah yang fundamental, ditemukan dalam karyanya Fushus
al-Hikam yang berisi esensi pemikiran filosofisnya.[18]
[1] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir,
Lahor, Syabkah al-Dif’‘an al-Sunnah, 1987/1941, 45.
[2]
Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf al-Mansy’ wa al-Mashadir,
Lahor, Syabkah al-Dif’‘an al-Sunnah, 198, 6.
[5] Di antara kitab yang jelas-jelas sepenuhnya berisi kritik negatif terhadap
sufi (khususnya ibnu ‘Arabi, al-Hallaj dan ibn al-Faridh) dan seluruh ajarannya
adalah kitab Mashra’ al-Tashawwuf. Selain
karya-karya ibn Taymiyah dan para pengikutnya.
[8] Dzahir, Ihsan Ilahi, al-Tashawwuf
al-Mansy’ wa al-Mashadir, Lahor, Syabkah al-Dif’ ‘an al-Sunnah,
1987, 45
[10] Rabithah adalah salah
satu bentuk tradisi thariqah sufi yang diadopsi dari agama Majusi di Persia (Aydin, Feriduddin, Mawqif ibn ‘Abidin
min al-Sufiyyah wa al-Tassawwuf, 11).
[12] Ibn Taimiyah, Majmu’at al-Rasa’il wa al-Masa’il,
ed. Rasyîd Ridhâ’, Kairo, t.p., t.th.,
vol. 1, hal. 179.
[13] al-Saraj, al-Luma’, Kairo,
Dar al-Kutub al-Hadisah, 1380 H./1960 M.,19 dan 40; al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah
al-Qusyairiyah, Kairo, 1972, 20-21; Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya’, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980,I, 21-28.
[14] al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad, al-Ta‘arrûf li Madhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo, al-Halabi, 1380 H./1960 M., 33-82.
[16]al-Sarraj, al-Luma, Kairo, Dar al-Kutub al-Hadisah,
1380 H./1960 M.,19 dan 40. al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah
al-Qusyairiyah, Kairo, t.k., 1972, 20-21; Abu Nu’aim, Hilyat al-Awliya’,
Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1980,I, 21-28.