PESANTREN DAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
PESANTREN DAN PENDIDIKAN
KARAKTER BANGSA
MAKALAH
DISAMPAIKAN
DALAM ANNUAL INTERNATIONAL FESTIVAL
AND
CONFERENCE ON ARTS AND CIVILIZATION
UNIVESEITAS
MUHAMMADIYAH CIREBON
7-11
DESEMBER 2015
OLEH:
SUTEJA
DOSEN IAIN SYEKH
NURJATI CIREBON
CIREBON
1437 H./ 2015 M.
OLEH: SUTEJA
Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon
A. PENGANTAR
Pesantren adalah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk
mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari.[2] Pengertian tradisional
di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam)
telah hidup sejak 300–500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar
dalam kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami
perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa
mengalami perubahan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di
Indonesia.[3] Lembaga pendidikan ini telah berkembang
khususnya di Jawa selama berabad-abad. Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan
pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan
kedatangan agama Islam di Nusantara. Lembaga ini berdiri untuk pertama
kalinya di zaman Wali Songo.[4]
Menyusul kemudian pesantren Sunan Ampel di daerah Kembangkuning Ampel Denta Surabaya, yang pada mulanya hanya
memiliki tiga orang santri atau murid.[5] Pesantren
Sunan Ampel inilah yang melahirkan kader-kader Wali Songo seperti Sunan Giri (Raden Paku atau Raden
Samudro). Sunan Giri setelah tamat berguru kepada Sunan Ampel dan ayahandanya
sendiri (Mawlana Ishak) kemudian mendirikan pesantren di Desa
Sidomukti Gresik. Pesantren itu lebih
dikenal dengan sebutan Pesantren Giri Kedaton. Pesantren Giri Kedaton
sebagai pesantren yang termasyhur di wilayah Jawa Timur. Para santri yang
datang untuk belajar di sana berasal dari daerah yang sangat beragam seperti :
Madura, Lombok, Bima, Makasar, dan Ternate (Halmahera), selain daeri
daerah-daerah di Jawa Timur sendiri. Sampai dengan abad ke-17 M. pesantren ini
masih tetapharum dan didatangi oleh para santri untuk menimba ilmu agama Islam
di sana. [6]
Raden Fatah adalah murid Sunan Ampel. Setelah mendapatkan ijazah
dari sang guru ia mendirikan pesantren di Desa Glagah Wangi, sebelah Selatan
Jepara (1475 M.=880 H.). Di Pesantren ini pengajarannya terfokus kepada ajaran
tasawwuf para wali dengan sumber utama Suluk Sunan Bonang.
Sedangkan kitab yang dipergunakan adalah Tafsir al-Jalalayn.[7] Ketika Demak dipimpin oleh Sultan Trenggono (memerintah antara 1521–1546 M.=928–953 H.) Fatahillah (Fadhilah Khan) yang dipandang ‘alim
dan dihormati masyarakat dipercaya untuk mendirikan pesantren di Demak.[8]
Satu abad setelah masa Wali Songo,
abad 17, Mataram memperkuat pengaruh
ajaran para wali. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, yang dikenal sebagai Sultan
Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidina Penotogomo ing Tanah Jawi (memerintah 1613-1645 M. = 1022-1055 M.)
mulai dibuka kelas khusus bagi para santri untuk memperdalam ilmu agama Islam
(kelas takhashshush) dengan spesialiasi cabang ilmu tertentu, serta
pengajian tarekat,[9] atau pesantren tariqat.[10] Hal baru yang
sangat menarik adalah inisiatif Sultan Agung untuk memperhatikan pendidikan
pesantren secara lebih serius. Dia menyediakan tanah perdikan bagi kaum
santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan
(Islam) hingga mereka berhasil mengembangkan tidak kurang dari 300 buah pondok
pesantren.[11] Kenyataan ini identik dengan dinamika dan kemajuan yang dinikmati Madrasah Nidzamiyah
Baghdad ketika pada masa-masa keemasannya di bawah kepemimpinan al-Ghazali.
Pada tahap-tahap pertama pendidikan pesantren lebih memfokuskan
dirinya kepada upaya pemantapan iman
dengan latihan-latihan ketarikatan daripada menjadikan dirinya sebagai pusat
pendalaman Islam sebagai ilmu pengetahuan atau wawasan. Sebagai contoh Pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon. Pesantren tertua di Jawa Barat ini
didirikan pada tahun 1817 M.=1233 H. oleh Ki Jatira (salah seorang murid
Maulana Yusuf dan sekaligus utusan
Kesultanan Hasanuddin Banten).
Seperti banyak dikemukakan dalam perjalanan sejarah, bahwa seputar abad
ke-17 dan 18 M., dimana pesantren mulai dirintis, kondisi masyarakat pada umumnya
masih demikian kental dengan tradisi mistik yang kuat.[12]
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam mistik saat
itu dikarenakan oleh sebab-sebab yang berasal dari luar pesantren. Sebab-sebab
dimaksud adalah langkanya
literatur keislaman di Jawa ketika itu sebagai konsekuensi logis dari kurangnya kontak antar umat Islam di Jawa
dengan Timur Tengah, yang disebabkan oleh politik pecah belah Belanda yang
tengah berusah keras menunjang
penyebaran agama Kristen di Nusantara.[13]
Pesantren dalam bentuknya semula tidak dapat disamakan dengan lembaga
pendidikan madrasah atau sekolah seperti yang dikenal sekarang ini. Perkembangan selanjutnya menunjukkan
pesantren sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tradisional yang tampil dan
berperan sebagai pusat penyebaran sekaligus pendalaman agama Islam bagi
pemeluknya secara terarah.[14]
Abad ke-19 M. adalah abad permulaan adanya kontak umat Islam di Indonesia
dengan dunia Islam, termasuk Timur
Tengah. Selain kontak melalui jamaah haji Indonesia, juga melalui sejumlah
pemuda Indonesia yang belajar di Timur Tengah (Makkah). Mereka sebagian besar berasal dari keluarga
pesantren.[15] Di antara
mereka yang sukses secara gemilang adalah Syaikh Nawawi Tanara Banten (w. 1897
M.), Syaikh Mahfudz al-Tirmisi (w. 1919
M.), Syaikh Ahmad Chothib Sambas (asal
Kalimantan), dan Kiai Cholil Bangkalan
(w. 1924 M.= 1343 H.). Pada abad ke-19 M. mereka adalah orang-orang yang
mengisi kedudukan sebagai imam dan
pengajar di Masjid Haram Makkah al-Mukarromah.[16]
Generasi pertama itu kemudian
melahirkan para santri sebagai murid langsung, yang selanjutnya dikenal sebagai
generasi kedua dalam jajaran pelopor dan pendiri pesantren di Jawa dan
Madura. Mereka adalah KH. A. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang
(1871-1947 M.=1288–1367 H.), KH. Abdul
Wahab Hasbullah (Surabaya), dan KH.
Bisyri Syamsuri. Pada tahun 1899 M.=1317
H., KH. A. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng. Pesantren itu
menawarkan panorama yang berbeda dari pesantren-pesantren lain
sebelumnya. Ia mencoba merefleksikan hubungan berbabagai dimenasi yang mencakup
ideologi, kebudayaan serta pendidikan.[17] Pendirian
pesantren ini dipandang sebagai upaya penting komunitas pesantren karena mulai
memperlihatkan sikap pesantren menentang hegemoni penjajah. Boleh dijuga
diasumsikan motivasi politik yang ditujukan Pesantren Tebuireng adalah
manifestasi kesadaran diri dan percaya diri paling tertinggi dari kaum
pesantren.[18]
Pada wal abad ke-20 M., Pesantren Tebuireng di bawah pimpinan KH. A. Wahid Hasyim (1916 M. = 1335 H.) berhasil melakukan perubahan yang radikal
secara kelembagaan berkenaan dengan kurikulum pesantren. Dia memasukkan pendidikan persekolahan
(komunitas pesantren menyebutnya sistem madrasi) dengan mendirikan
Madrasah Nidzamiyah di dalam lingkungan pesantren. Di madrasah itu diajarkan berbagai mata
pelajaran yang oleh seluruh komunitas pesantren saat itu dihukumi haram
dan yang mempelajarinya divonis kafir. Mata pelajaran yang dimaskud adalah :
Berhitung, Ilmu Bumi, Sejarah, Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan
Bahasa Belanda.
Perkembangan pada masa-masa selanjutnya berhasil mencatat pesantren sebagai
lembaga pendidikan agama (Islam) yang mampu melahirkan suatu lapisan
masyarakat dengan tingkat
kesadaran dan pemahaman keagamaan (Islam)
yang relatif utuh dan lurus.[19] Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang
memegang peranan penting dalam penyebaran ajaran agama (Islam) prinsip dasar
pendidikan dan pengajaran pesantren adalah pendidikan rakyat. Dan,
karena tujuannya memberikan pengetahuan tentang agama, maka ia tidak memberikan pengetahuan umum.[20]
B. Pembentukan Kepribadian
Mata rantai keilmuan dan pesantren adalah bersumber dari pemahaman dan
interpretasi Wasli Songo terhadap
ajaran Islam. Mereka adalah para guru tariqat sufi yang merujuk kepada
pemikiran dan doktrin kesalehan al-Ghazali (w. 450- 505 H / 1106-1111 M.).
Al-Ghazali adalah ulama dan sufi yang
besar pengaruhnya. Dialah pembela
dan penyebar ajaran teologi al-Asy’ari dan fiqh al-Syafi’i. Ketika dipercaya menjadi rektor Universitas
Nidzamiyah Baghdad pada masa keemasan peradaban Islam, dia menampakkan
keberaniannya dengan tidak mengikuti pola pemikiran sang guru langsung, Imam al-Haramaian dan justru mengikuti pola-pola al-Baqillani dan
al-Asy’ari. Dialah penyebar doktrin al-Asy’ari
ke seluruh penjuru dunia, termasuk dunia belahan timur dan
Nusantara. Dari sudut pandang ini bisa
dipastikan mata rantai kesejaharan, ideologis ataupun budaya pesantren dengan
tradisi intelektual dengan para ulama sufi tempo dulu tetap terjaga, terpelihara,
serta tetap lestari.
Rujukan ideal
keilmuan pendidikan pesantren cukup komprehensif meliputi inti ajaran dasar Islam itu sendiri
yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah. Kelengkapan rujukan itu kemudian
dibakukan ke dalam tiga sumber atau rujukan pokok yaitu al-Asy’ariyah untuk
inti ajaran dasar Islam bidang teologi, al-Syaf’iyah untuk bidang hukum Islam
(fiqh) dan al-Ghazaliyah untuk akhlak dan dan tasawwuf. Tradisi keilmuan pesantren
sampai sekarang nampaknya tidak pernah bergeser dari aspek essensinya. Ummat
Islam Indonesia, dalam pandangan Dawam Rahardjo,[21] menaruh
kepercayaan besar terhadap alumni-alumni pesantren yang memperoleh pendidikan
di dunia Barat dan bekerja di beberapa sektor dan kantor swasta dan negara di
Indonesia.
Pesantren dalam perkembangannya masih tetap disebut sebagai lembaga
keagamaan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Pesantren dengan segala
dinamikanya dipandang sebagai lembaga pusat perubahan masyarakat melalui
kegiatan dakwah, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap
perubahan dan pengembangan kepribadian individu santri, sampai pada pengaruhnya
terhadap politik di antara pengasuhnya (kyai) dan pemerintah.
Pesantren dari sudut paedagogis tetap dikenal sebagai lembaga
pendidikan agama Islam, lembaga yang terdapat di dalamnya proses belajar
mengajar. Fungsi pesantren dengan demikian lebih banyak berbuat untuk mendidik
santri. Hal ini mengandung makna sebagai usaha membangun dan membentuk pribadi,
masyarakat dan warga negara. Pribadi yang dibentuk adalah pribadi muslim yang
harmonis, mandiri, mampu mengatur kehidupannya sendiri, tidak bergantung kepada
bantuan pihak luar, dapat mengatasi persoalan sendiri, serta mengendalikan dan
mengarahkan kehidupan dan masa depannya sendiri. Pesantren dalam hal ini
bertugas membentuk pribadi muslim
yang harmonis dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama dan lingkungan yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan
tetangga dekat.
Pendidikan pesantren memiliki berbagai macam dimensi : psikologis, filosofis,
relijius, ekonomis, dan politis, sebagaimana dimensi-dimensi pendidikan pada
umumnya. Tetapi,[22] pesantren
bukanlah semacam madrasah atau sekolah, walaupun di dalam lingkungan pesantren
telah banyak pula didirikan unit pendidikan klasikal dan kursus-kursus. Berbeda
dengan sekolah atau madrasah, pesantren memiliki kepemimpinan, ciri-ciri khusus dan semacam
kepribadian yang diwarnai oleh
karakteristik pribadi kyai, unsur-unsur pimpinan pesantren, dan bahkan
aliran keagamaan tertentu yang dianut. Pesantren juga memiliki pranata tersendiri yang
memiliki hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan
tradisi atau kultur masyarakat.
Pesantren sejak awal kelahirannya
telah menjadikan pendidikan sebagai way of life. Pembentukan kepribadian
muslim yang dilakukan oleh pesantren justru hampir seluruhnya terjadi di luar
ruang belajar. Hubungan, interaksi, dan
pergaulan sehari-hari santri dengan kyai, atau santri dengan sesamanya, bahkan
santri dengan masyarakat di sekitar
lingkungan pesantren adalah sumber pembelajaran utama dalam kerangka
pembentukan kepribadian muslim yang dicita-citakan.
Pola hubungan santri-kyai dan santri-santri sebagai proses
pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan pesantren adalah merupakan
kesinambungan dan pelestarian tradisi, budaya, serta nilai-nilai Islam yang
ditanamkan oleh Wali Songo yang
memposisikan ajaran mereka sebagai ajaran para ulama sebelumnya yang memiliki
mata rantai bersambung (istishal al-Sanad) dengan Rasulullah, Muhammad SAW.
Tujuan pendidikan pesantren bukan untuk mengerjakan kepentingan kekuasan (powerfull),
uang, dan keagungan duniawi. Kepada para santri ditanamkan bahwa belajar atau
menuntut ilmu adalah semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan
rasul-Nya, mencari keridoan Allah, serta menghilangkan kebodohan, sebagai
sarana memasyaraktkan ajaran Islam di muka bumi dalam wujud amar ma’ruf
nahyu munkar.[23] Diantara cita-cita pesantren adalah latihan
untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kecuali kepada Allah.[24]
Pesantren, dengan demikian, lebih mengutamakan faktor keikhlasan hati baik
dari pihak santri dan wali santri, ataupun dari pihak kyai, para pengajar, dan komponen pimpinan
pesantren. Konsep ikhlas dalam pendidikan pesantren merupakan konsep kerelaan hati berbuat baik
dalam bentuk apapun, tanpa mengharap imbalan atau upah dari makhluk ciptaan
Allah. Konsep ikhlas yang dianut oleh komunitas pesantren selama berabad-abad
merupakan warisan Wali Songo sebagai kepanjangan dari ajaran tasawwuf
al-Ghazali.
Konsep ikhlas dipandang sudah teruji sepanjang sejarah perkembangan umat
Islam Idonesia. Para santri dan alumni pesantren yang ikhlas dalam arti
sesungguhnya dinilai telah berhasil dan lulus dalam kancah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menawarkan janji-janji menggoda
tentang kemewahan duniawi baik berupa
jabatan, pangkat, kedudukan, popularitas, uang, kekayaan bendawi, serta
kepuasan-kepuasan psikologis yang sifatnya tidak kekal. Konsep ikhlas dalam
tradisi pesantren mendorong para santri mengejar kebahagaiaan ruhhaniah yang kekal, yaitu kedamaian dan ketentraman,
karena kedekatan dengan Tuhan sebagai bersihnya hati dan beningnya pikiran dari
ambisi mengejar kepuasaan duniaiwi.
Ikhlas merupakan pintu pertama menuju terbentuknya kepribadian muslim
yang harmonis baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Keharmonisasn pribadi
berawal dari hati yang bersih dari ketergantungan kepada selain Allah (syirik)
dan prasangka buruk (su’u dzan) kepada sesama, serta keragu-raguan dalam
bertindak. Kondisi kejiwaan inilah yang paling
pertama ditanamkan sejak santri baru memulai mengikuti pembelajaran di
dalam lingkungan pendidikan pesantren.
Sejarah mencatat, akibat keberhasilan pendidikan pesantren dalam menanamkan
keikhlasan kepada para santrinya telah banyak memberikan kontribusi kepada
bangsa dan negara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Beberapa
pesantren tua seperti dikemukakan di atas telah berhasil memberikan teladan
dengan melakukan konfrontasi secara fisik dalam memberantas penjajahan. Hal ini dapat dicermati juga
melalui letak geografis beberapa pesantren di
tanah Jawa yang sejak semula nyata-nyata menampakkan perlawanan dengan
sentra-sentra kekuatan dan ekonomi penjajahan Belanda di Indonesia. Pesantren
Tebuireng Jombang (Jawa Timur) letaknya tepat berhadapan dengan salah satu
pabrik gula terbesar yang terletak di
Desa Cukir Jombang. Fenomena ini
menunjukkan bahwa sejak semula pesantren telah menyatakan konfrontasi dengan
kemajuan teknologi Barat yang secara langsug mempengaruhi pola fikir dan
prilaku santri waktu itu.[25] Di wilayah Jabawa Barat terdapat pesantren
tua yang terletak di Desa Babakan Kecamatan Ciwaringin Cirebon. Pesantren ini
berdiri sejak tahun 1817 M. Ketika terjadi Perang Diponegoro di Jawa tengah
(1825-1830), yang dipimpin oleh Syaykh Abdurrahim putra Amangkurat III (dari
hasil pernikahan dengan seorang putri Kyai dari Desa Tingkir), Ki Jatira (kyai yang sebenarnya
keturunan Banten dan utusan kesultanan
Mawlana Hasasnuddin Banten) dan para santri pesantren itu tengah berjuang keras
melawan Belanda yang bermarkas di Gunung Jaran Desa Gempol Kecamatan
Ciwaringin. Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon (didirikan KH. Ahmad
Syathori) adalah salah satu pesantren di wilayah kawedanan Arjawinangun yang
sebagian bangunan fisiknya mempergunakan tanah bekas pabrik gula yang
dibangun Belanda (regendom). KH.
Ahmad Syathori termasuk salah seorang santri KH. Jawhar ‘Arifin Balerante yang
tergolong kirtis. Dia juga belajar hadits/ilmu hadits dan fiqih Maliki kepada
Syakykh Muhammad ‘Alawiy al-Malikiy di Makkah al-Mukarromah. Semasa penjajahan
Belanda dan pendudukan Jepang, sang kyai ini kerapkali keluar masuk penjara
karena perlawananya terhadap kekuasaan kolonial.
Beberapa pesantren lain yang juga memposisikan diri berkonforntasi dengan
kekuatan penjajah. Misalnya Pesantren
Kempek Ciwaringin (didirikan oleh K. Harun), Pesantren Balerante Palimanan
(didirikan seorang putra bangsawan dari Banten bernama Cholil), Pesantren Sukun
Sari Plered (Weru Kidul), Buntet Pesantren di Desa Mertapada Kulon Kecamatan Astajanapura, dan Pesantren
Gedongan Desa Ender Astanajapura. Letak
geografis semua pesantren tersebut
mendekati pabrik gula yang pada
masa itu merupakan pusat perekonomian Belanda yang dijadikan tumpuan eksploitasi kekuatan
infrastruktur rakyat Indonesia.
D. PENUTUP
Islam yang pertama
kali ke Indonesia adalah Islam versi sufisme. Pendapat ini merupakan pendapat umum para sarjana Barat
dan pendapat yang belum pernah ibantah oleh orang Indonesia sendiri. Tesis ini
berdasarkan alasan, bahwa dakwah Islam sesudah abad II H. terus mengalami kemunduran, dan baru dalam
abad III H. (XIII M.) aktif kembali akibat
sumbangan dakwah dari ahli tasawuf dan ahli tarekat.[26] Abad ini
merupakan abad pertama islamisasi Asia Tenggara yang berbarengan dengan masa
merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Beberapa tokoh
yang berpengaruh secara signifikan antara lain: al-Ghazali (450-505 H./1058-111 M.), Ibnu ‘Arabi
(560-638 H./1164-1240 M.), serta para pendiri tarekat semisal ‘Abd. al-Qadir
al-Jaylani (470-561
H./10771-165 M.), Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H./1096–1167 M.), Najmudddin al-Kubra (w. 618 H./1221 M.), Abu
al-Hasan al-Syadzali (560-638 H./1196-1258 M.), Bahauddin al-Bukhari
al-Naqsyabandi (717-781 H./1317-1389 M.), dan ‘Abdullah al-Syattar (w. 832
H./1428 M.).[27]
Islam yang diterima
orang-orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam barangkali sangat diwarnai
oleh berbagai ajaran dan amalan sufi.[28] Di Indonesia dan khususnya di Jawa, awal mula
perkembangan agama (Islam) adalah dalam bentuk
yang sudah bercampur baur dengan
unsur-unsur India dan Persia,
terbungkus dalam praktik-praktik keagamaan. Islam yang datang ke Indonesia dan khususnya
di Jawa adalah Islam yang bercorak sufistik.[29] Para sufi (wali), ulama dan kyai di
tanah Jawa cenderung bersikap simpatik
dan akomodatif terhadap tradisi budaya lokal.
Wali Songo dan komunitas
pesantren selalu loyal pada missinya sebagai pewaris Nabi Muhammad yang terlibat
secara fisik dalam rekayasa sosial. Misi utama mereka adalah menerangkan,
memperjelas, dan memecahkan persoalan-persoalan masyrakat, dan memberi model
ideal bagi kehidupan sosial agama masyarakat. Model Wali Songo yang diikuti oleh para ulama di kemudian hari
telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa
mereka pada kepemimpinan proaktif dan effektif. Pendekatan dan kearifan Wali Songo kini terlembagakan dalam essensi budaya
pesantren.
Keberhasilan pendidikan Islam Wali
Songo terhadap pendekatan penguasa
tercermin dalam menyatukan unsur pemimpin agama dan negara. Dikotomi antara
ulama dan raja, sebagaimana diteladankan oleh para pemimpin sesudah Nabi
Muhammad (Khalifah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali) tidak mendapatkan ruang dan tempat dalam
ajaran dasar Wali Songo. Ajaran ini
adalah warisan Sunan Kalijaga sebagai grand desinger dan kemudian
dipopulerkan oleh Sultan Agung.[30] Namun
demikian, pendidikan Wali Songo mudah ditangkap dan dilaksanakan.
Wali Songo dan kyai Jawa adalah agent of social changer melalui pendekatan kultural. Ide cultural
resistence juga mewarnai kehidupan intelektual pendidikan
pesantren. Subjek yang diajarkan di lembaga ini adalah kitab klasik yang diolah dan ditransmisikan dari satu generasi
ke generasi berikut, yang sekaligus merujuk kepada keampu-an kepemimpinan
kyai-kyai. Isi pengajaran kitab-kitab
itu menawarkan kesinambungan tradisi yang benar mempertahankan ilmu-ilmu agama
dari sejak periode klasik dan pertengahan.
Memenuhi fungsi edukatif, materi yang diajarkan di pesantren bukan hanya
memberi akses pada santri rujukan kehidupan keemasan warisan peradaban Islam
masa lalu, tapi juga menunjukkan peran hidup yang mendambakan kedamaian,
keharmonisan dengan masyarakat, lingkungan dan bersama Tuhan. Tujuan itu secara sederhana [31] adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat
dengan jalan menjadi kawula atau aabdi masyarakat tetapi rasul (pelayan
masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad), mampu berdiri sendiri, bebas
dan teguh dala kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan
kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat, dan mencintai ilmu dalam
rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Karena konsep di atas pula pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni
dari luar. Pesantren-pesantren tua biasanya selalu dihubungkan dengan kekayaan
mereka berupa kesinambungan ideologis dan historis, serta mempertahankan budaya
lokal. Denominasi keagamaan dalam pendidikan pesantren yang
bercorak Syafi’i-Asy’ari-Ghazalian-Oriented
terbukti sangat mendukung terhadap
pengembangan dan pelaksanaan konsep cultural resistance. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
tertua di Indonesia tumbuh dan
berkembang dalam proses sejarah yang panjang. Kehadirannya bersamaan dengan
aktivitas penyebaran Islam di Jawa yang dibawa oleh para wali (Wali Songo). Pesantren pada zaman Wali Songo, pemerintahan
Demak, dan pemerintahan Sultan Agung
Mataram dari aspek kurikulumnya masih sama dan belum mengalami perubahan dari
tujuan dasar ajaran Tariqat Shufi dan Tasawwuf al-Ghazali.
Perkembangan sebelum abad 19 Masehi menujukkan eksistensi pesantren
tariqat, baik di tanah Jawa maupun
di Aceh. Kurikulum pendidikan pesantren mulai mengalami perubahan setelah
generasi awal ulama-ulama Nusantara berkesempatan memperdalam ajaran Islam di
Timur Tengah, khususnya Makkah al-Mukarromah. Kontak budaya dengan dunia Islam pada
umumnya, juga mulai terbuka pada abad
itu. Generasi awal yang mempunyai santri atau murid langsung boleh berbangga
hati karena ternyata sang murid dapat menggoreskan tinta emas ke dalam
catatan sejarah perkembangan pendidikan pesantren. KH. A. Hasyim Asy’ari
dipandang sebagai tokoh pertama yang melakukan pemabahruan di dalam dunia
pesantren.
Pesantren mulai memperkenalkan ilmu-ilmu keislaman dari sumber rujukan
primer. Sehingga, pesantren memiliki tipologi baru yang berbeda dengan
sebelumnya. Kalau sebelum Hasyim Asy’ari pesantren hanya berorientasi kepada
pengajaran tariqat, maka Pesantren Tebuireng yang didirikannya berhasil
mempelopori pesantren syari’at dengan memperkenalkan kajian berbagai keilmuan
islam seperti Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadits, dua ilmu pokok untuk memahami
al-Quran dan Sunnah Rasul. Hal yang layak digaris bawahi adalah bahwa,
perjalanan panjang dan perubahan umat Islam Indonesia yang dinamis tidak pernah
dapat menggeser tradisi keilmuan dan nilai-nilai kesalehan pesantren, yang
diwariskan oleh ulama sebelumnya. Tradisi
keilmuan dan konsep kesalehan pesantren tetap memiliki kesinambungan mata
rantai dengan: ajaran Islam Wali Songo, Tariqat Sufi, Imam al-Ghazali, Teologi
al-Asy’ari, Fiqih al-Syafi’i, sampai kepada Rasulullah, Muhammad SAW.
Konsep ikhlas sebagai karakter atau kepribadian
santri adalah nilai yang bersumber dari ajaran tasawwuf Islam yang tetap dilestarikan sampai dengan
sekarang. Komunitas pesantren meyakini keikhlasan tetap menjadi fondasi utama
dalam mengantarkan para santri mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat,
baik sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, dan warga negara. Karenanya, konsep ikhlas, yang terbukti telah
teruji dan lulus dalam proses seleksi interaksi sosial dari zaman ke zaman, tidak
perlu digantikan. Dalam hal ini pendidikan pesantren mesti mengukuhkan norma “memelihara
yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik” المحافظة بالقديم الصالح والأخذ بالجدديد الأصلح (Suteja). والله أعلم بالصواب
[1] Makalah disampaikan dalam Annual
International Festival and Conference on Arts and Civilization, Univeseitas
Muhammadiyah Cirebon, 7-11 Desember 2015
[2] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta,
INIS, 1994, hal. 55.
[3] Mas’ud, Abdurrahman,
“Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam, Ismail Huda SM, ed., Dinamika
Pesantren dan Madrasah, Yogjakarta,
Pustaka Pelajar, 2002, hal. 3.
[4] Wahid,
Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta, Dharma Bhakti, 1399 H., hal. 52.
[5] Saridjo,
Marwan, Sejarah Pondok Pesantren,
Jakarta, Dharma Bhakti, 1982, hal. 25 Syaikh Mawlana Malik
Ibrahim atau Mawlana Maghribi (w.1419 M.) dianggap sebagai pendiri pesantren
yang pertama di Jawa. Syaikh Mawlana Malik Ibrahim dipandang
sebagai Spiritual Father Wali Songo, gurunya guru tradisi pesantren di tanah Jawa.
[6] Atjeh, Abu
Bakar, dalam Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren, hal. 25.
[7] Yunus, Mahmud,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Dharma Bhakti, 1982, hal. 257.
[10] Ensiklopedi
Islam, Jakarta,
Ikhtiar Baru, hal. 1993 .
[11] Saleh,
Abdurrahman, dkk., Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren,
Jakarta, Binbaga Islam, 1982, hal. 6.
[12] Bakar, Abu & Shohib Salam, “ Pesantren Babakan Memangku
Tradisi dalam Abad Modern“, dalam, Agus
Sufihat, dkk., Aksi-Refleksi Khidmah NahdhatulUlama 65 Tahun, Bandung,
PW NU Jawa Barat, 1991, hal. 44.
[13] Natsir, M.,
Islam dan Kristen di Indonesia,
Jakarta, Bulan Bintang, 1969, hal. 21.
[14] Effendy
Yusuf, Slamet, dkk., Dinamika Kaum
Santri Menelusuri Jejak dan Pergolakan internal NU, Jakarta, Rajawali, 1983, hal. 4.
[15] Effendy
Yusuf, Slamet, dkk., Dinamika Kaum
Santri, hal. 4.
[16] Dhofier,
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren,
Jakarta, LP3ES, 1982, hal. 85
[17] Tafsir,
Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung, Remaja
Rosda Karya, 1992, hal. 194.
[18] Mas’ud, Abdurrahman,
Sejarah dan Budaya Pesantren, hal. 20.
[19] Slamet, Dinamika Pesantren, hal. 4.
[20] Djumhur, I,
Sejarah Pendidikan, Bandung, CV Ilmu, 1976, hal. 111-112.
[24] Wahid, dalam, dalam, Manfred Oepen and
Wolfgang Karcher (Ed.,), the Impact of Pesantren, Jakarta, P3M, 1988, hal. 42.
[25] Dzofir, Tradisi Pesantren, Jakarta, LP3S, 1985, hal. 101.
[26] Steenbrink,
Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19, Jakarta, Bulan Bintang, 1984, hal. 173.
[27] Bruinessen,
Martin van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung, Mizan, 1994, hal. 188.
[28] Bruinessen,
Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hal.
188.
[29] Simuh,
Islam dan Tradisi Budaya Jawa, Jakarta,
TERAJU, 2003,162
[30] Wahid, “Principles of Pesantren Educatuon”,
dalam, Manfred Oepen and Wolfgang Karcher (Ed.,), the Impact of Pesantren,
Jakarta, P3M, 1988, hal. 198.
[31] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren, hal. 55-56.