AL-GHAZALIANISME DI PESANTREN
AL-GHAZALIANISME DI PESANTREN
Kedatangan Islam ke Nusantara
termasuk Jawa Barat dan lebih khusus Cirebon, diakui para ahli sejarah, tidak
dapat dilepaskan dari peran ulama-ulama sufi sebagai penyebar ajaran Islam
madzhab Ahlusunnah wal Jama’ah, khususnya ajaran tasawuf yang sangat
diwarnai pemikiran Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Thusîy al-Ghazãlî.
Mereka lazim disebut sebagai Walisongo, salah satunya adalah Maulana Syeikh
Syarif Hidayatullah Sultan Mahmud, alias
Sunan Gunung Djati. Dialah, salah seorang anggota Dewan Walisongo, kemudian yang dinilai sangat berjasa dalam
mengislamkan masyarakat Cirebon, Banten dan Jawa Barat.
Walisongo, termasuk juga Maulana Syeikh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Djati, memang tidak meninggalkan karya tulis dalam
bidang tasawuf atau tarekat dan keislaman pada umumnya. Jejak yang
ditinggalkannya terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam
tulisan para murid (siswa, santri tarekat) dalam bahasa Jawa yang disebut sulûk
seperti pada awal-awal kerajaan
Islam Demak. Di Pesantren Raden Fatah (1475 M.) pengajaran ilmu-ilmu keislaman
hanya berkisar kepada ajaran-ajaran tasawuf para sunan dengan rujukan
utama Kitâb Sulûk Sunan (hasil
tulisan para wali) dan Kitab Tafsîr al-Jalâlayn.[1] Tulisan itu berisi catatan pengalaman orang-orang saleh yang menegaskan
bahwa latihan-latihan spiritual (riyâdhah) dan pengendalian hawa
nafsu (mujâhadah) sangat diperlukan dalam rangkaian pembersihan
hati dan menjernihkan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, yaitu kedekatan
yang mengantarkan seseorang pada alam rohani ketika jiwa merindukan Allah
hingga memperoleh titisan cahaya ilahi. Hubungan intim dengan Allah tidak dapat
dicapai oleh jiwa yang berwawasan materialistis, yang menyibukkan diri dengan
rasa ketergantungan pada dunia fana dan materi, dan jauh dari agama dan Allah.[2]
Riyâdhah dan mujâhadah adalah perilaku
kehidupan spiritual yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi komunitas
pesantren. Lembaga pendidikan pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh
pelosok Tanah Air adalah salah satu bukti sejarah tentang kontribusi (‘amal jâriyah) para wali. Sebagian besar pesantren-pesantren itu menerapkan
ajaran tasawuf al-Ghazali dan mengajarkan Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn dan Mihâj al-‘Âbidîn karya al-Ghazali, sebagai salah satu materi
dasarnya.[3] Pemikiran dan praktik-praktik tasawuf tersebut, memberikan kesan kuat
bahwa corak tasawuf yang dianut oleh para wali itu adalah tasawuf Sunni, yang
sangat dipengaruhi pemikiran-pemikiran al-Ghazali.
Namun demikian, yang menarik untuk dicatat adalah bahwa, kebanggaan para
penganut dan pengikut tarekat terhadap orsinalitas ajaran yang mereka
kembangkan merupakan karakteristik khusus yang dimiliki sebagaimana yang lazim
berlaku di lingkungan aliran kerohanian atau kebatinan pada umumnya. Mereka
menyampaikan kebijaksaaan para leluhur mereka sebagai pusaka aji tanpa “bahan asing”. Mereka mempergunakan
bahasa pribumi, menghidupkan upacara ritual keagamaan lokal setempat dan bahkan
hasil kreasi mereka sendiri serta mewarisi gaya hidup yang telah mereka warisi
sejak dulu secara turun temurun.